Rabu, 09 Mei 2012

SEJARAH ISLAM


Pendahuluan
Peradaban Islam dan kebudayaan Yunani merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Mungkin keimpulan seperti itulah yang muncul ketika penulis membaca buku seorang kristenArab, Jamil Shaliba yang berjudul al-Falsafah al-Arabiyyah. Pilar-pilar peradaban Islam yang berhasil melahirkan filsuf, dokter, astronom, ahli matematika hingga hukum berkelas dunia tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jasa-jasa ilmuan yang berasal dari kebudayaan pra-Islam, seperti kebudayaan Yunani, Persia dan India.
Berangkat dari tesis itu, penulis sepakat untuk mengatakan bahwa kebudayaan Yunani telah memberikan andil yang sangat besar bagi bangunan peradaban Islam klasik.  Agar uraian tulisan ini tidak melebar terlalu jauh, penulis akan mengerucutkan wilayah peradaban Islam pada bidang filsafat.  Filsafat sebagai khazanah Islam telah membuktikan diri sebagai lokomotif utama bagi gerakan pengetahuan yang kemudian menjadi fondasi bagi peradaban Islam. Keterbukaan umat Islam terhadap khazanah klasik pra-Islam memberikan ruang bagi proses penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia dan India. Proses penerjemahan ini memiliki pengaruh pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan pengetahuan dalam dunia Islam. Filsafat dalam hal ini menjadi bidang yang cukup digandrungi oleh sebagian intelektual Islam pada masa itu.
Lantas bagaimanakah proses penyebaran dan pembentukan filsafat dalam dunia Islam? Filsafat yang berasal dari kata Yunani, Philosophia, berarti cinta kebijaksanaan. Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasaArab menjadi al-falsafah, sementara orang yang menggeluti bidang ini disebut al-falasifah (para filsuf). Filsafat Islam dalam hal ini adalah sebuah produk dari proses pemikiran yang dihasilkan oleh para sarjana muslim klasik setelah mengalami persinggungan dengan kebudayaan Yunani. Karena, seperti yang sudah penulis sampaikan, kata filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani mulai dikenal oleh umat Islam setelah membaca buku-buku pemikir dari Yunani.  Orang Islam pertama yang dikenal sebagai filsuf Islam pertama adalah Abu Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (Wafat sekitar 257 H/ 870 M).
Uraian tentang transmisi kebudayaan Yunani dalam peradaban Islam ini akan penulis mulai dengan perkenalan umat Islam akan kebudayaan-kebudayaan besar pra-Islam yang ada di beberapa wilayah kekuasaan umat Islam yang sedang meluas saat itu. Perkenalan yang didasari atas semangat Islam yang menganjurkan untuk mempelajari pengetahuan dari siapa pun berlanjut pada proses penerjemahan besar-besaran selama kurang lebih dua abad, dari awal abad ketujuh hingga akhir abad kedelapan. Proses penerjemahan ini meliputi dari berbagai kebudayaan, khususnya dari Yunani kemudian Persia dan India. Selama kurang dari dua abad ini, yang terjadi adalah sebuah proses penerjemahan yang melibatkan banyak intelektual Kristen Nestorian yang kebetulan mahir dalam beberapa bahasa penting saat itu, Yunani, Suryani danArab. Baru setelah banyak buku-buku dari kebudayaan non-Islam diterjemahkan ke dalam bahasaArab, mulailah bermunculan produk-produk pemikiran yang disebut filsafat Islam.
Pertautan Dengan Kebudayaan Pra-Islam
Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat pada 632 M, para shahabat berkumpul di Majlis Bani Tsaqifah untuk memilih seorang khalifah (pengganti Nabi).  Melalui sebuah proses konsensus yang cukup panas dan menegangkan akhirnya muncul Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah pertama umat Islam. Estafet kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh Umar ibn Khattab. Pada masa Umar terjadi  gelombang ekspansi untuk pertama kalinya. Tahun 635 M, kota Damaskus  jatuh ke dalam kekuasaan Islam. Tahun 641, Aleksandria menyerah pada tentara Islam di bawah pimpinan ‘Amr Ibn al-‘Ash. Singkat kata, dengan terjadinya gelombang ekspansi pertama ini, semenanjungArab, Palestina, Suria, Irak, Persia dan Mesir sudah masuk dalam wilayah kekuasaan Islam. Paska Umar, kekhalifahan dilanjutkan oleh Utsman ibn Affan, mantu Nabi Muhammad Saw. Namun karena terjadi kecemburuan kekuasaan akibat dari sikap nepotisme Utsman, kekuasaannya  diakhiri dengan pembunuhan terhadap dirinya.  Kekhalifahan umat Islam saat itu betul-betul mengalami ujian berat. Kemudian tampil Ali sebagai pengganti Utsman. Namun kepemimpinan Ali telah membuat kecewa kubu Utsman karena tidak berhasil mengusut kematian Utsman hingga tuntas.  Kepemimpinan Ali ini menjadi puncak dari sistem kekhalifahan dalam sejarah Islam yang kemudian akhirnya digantikan dengan sistem dinasti.
Setelah terjadi perang saudara antara Ali dan Mu’awiyah yang menjadi gubernur Damaskus saat itu, konflik kekuasaan di tubuh kekhalifahan memuncak hingga akhirnya Ali pun dibunuh oleh kelompok yang berasal dari kubunya sendiri karena telah menerima tahkim (arbitrase) dari pihak Mu’awiyah. Pada 661 M, Mu’awiyah membangun dinasti Bani Umayah dan dimulailah gelombang ekspansi yang kedua. Perluasan kekuasaan yang sudah dimulai sejak zaman Umar dilanjutkan kembali setelah beberapa lama banyak mengurusi masalah internal.
Namun konflik internal kembali terjadi di lingkungan dinasti yang menyebabkan kekuasaan Bani Umayah hanya berlangsung selama kurang lebih sembilanpuluh tahun dan kemudian diambil alih oleh Bani  ‘Abbasiyah (keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-Muttallib – Paman Nabi). Bani Abbasiyah diwarisi kekuasaan yang cukup luas, meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suriah, SemenanjungArabia, Irak, sebagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan dan sebagian wilayah Asia Tengah. Di beberapa wilayah kekuasaan itu merupakan pusat kebudayaan besar seperti Yunani, Suryani, Persia dan India. Karenanya beberapa khalifah pada masa Bani Abbasiyah lebih memusatkan pada pengembangan pengetahuan.
Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa kekuasaan Bani ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasaArab terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah. Perpustakaan besar Bait al-hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual. Sebuah perpustakaan yang sangat bagus sekali yang tidak didapatkan contohnya di dalam kebudayaan Eropa Barat. Para penerjemah yang pada umumnya adalah kamu Nasrani dan Yahudi  bahkan penyembah bintang digaji dengan harga yang sangat tinggi.
Buku-buku yang ditejemahkan terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Yunani, Suryani, Persia, Ibrani, India, Qibti, Nibti dan Latin. Keberagaman sumber pengetahuan dan kebudayaan inilah yang kemudian membentuk corak filsafat Islam selanjutnya.  Dan perlu dikui bahwa di antara banyak pengetahuan dan kebudayaan yang ditejemahkan ke dalam bahasaArab, karya-karya klasik Yunani adalah yang paling banyak menyita perhatian. Khususnya karya-karya filsuf besar Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Beberapa karya dari kebudayaan Persia dan India hanya meliputi masalah-masalah astronomi, kedokteran dan sedikit tentang ajaran-ajaran agama. Seperti karya Al-Biruni (w. 1048), sejarahwan  dan astronom muslim terkemuka, Tahqiq ma li Al-Hind min Maqulah (Kebenaran Ihwal Kepercayaan Rakyat India). Dalam tulisannya itu ia menguraikan kepercayaan fundamental orang-otang Hindu dan menyejajarkannya dengan filsafat Yunani. Atau terjemahan Ibn Al-Muqaffa’ (w. 759) yang berjudul Kalilah wa Dimnah (Fabel-fabel Tentang Guru) diterjemahkan dari bahasa Sanskerta yang merupakan penegetahuan sastra Persia.
Seperti yang dikatakan oleh Shaliba dalam bukunya, Al-falsafah Al-‘arabiyah, terbentuknya filsafat Islam terjadi dalam dua tahap. Pertama tahap penerjemahan dan kedua tahap produksi pengetahuan atau pemikiran. Setelah melewati tahap penerjemahan maka mulailah bermunculan filsuf-filsuf Islam yang mengambil jalur metode filsafat Yunani seperti yang dimulai dari al-Kindi hingga Ibnu Khaldun. Menurut Fazlur Rahman, yang disebut filsafat Islam dalam hubungannya dengan filsafat Yunani harus dilihat dalam konteks hubungan “bentuk-materi.” Jadi filsafat Islam sebenarnya adalah adalah filsafat Yunani secara material namun diaktualkan dalam bentuk sistem yang bermerk Islam. Sehingga dengan demikian tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa filsafat Islam hanya merupakan carbon copy dari filsafat Yunani atau HelenismeSementara Shaliba yang kurang lebih sependapat dengan pendapat Rahman, ia mengatakan bahwa salah satu perbedaan filsafat Islam dengan Yunani ada pada maksud dan tujuannya. Menurutnya, tujuan dari filsafat Yunani adalah lebih dilatarbelakangi nilai estetis sementara dalam filsafat Islam karena dorongan ajaran agama (Islam).
Penerjemah dan Buku-buku Yang Diterjemahkan
Perpustakaan Bait al-Hikmah yang didirikan oleh khalifah al-Ma’mun berisi para penerjemah yang terdiri dari orang Yahudi, Kristen dan para penyembah Bintang. Di antara para penerjemah yang cukup terkenal dengan produk terjemahannya itu adalah Yahya ibn al-Bitriq (wafat 200 H/ 815 M) yang banyak menerjemahkan buku-buku kedokteran pemikir Yunani, seperti Kitab al-hayawan (buku tentang makhluk hidup) dan Timaeus karya Plato. Al-Hajjaj ibn Mathar yang hidup pada masa pemerintahan al-Ma’mun dan telah menerjemahkan buku Euklids ke dalam bahasaArab serta menafsirkan buku al-Majisti karya Ptolemaeus. Abd al-Masih ibn Na’imah al-Himsi (wafat 220 H/ 835 M) yang menerjemahkan buku Sophistica karya Aristoteles.  Yuhana ibn Masawaih seorang dokter pandai dari Jundisapur (Wafat 242 H/ 857 M) yang kemudian diangkat oleh khalifah al-Ma’mun sebagai kepala perpustakaan bait al-hikmah, banyak menerjemahkan buku-buku kedokteran klasik.
Seorang penerjemah yang sangat terkenal karena banyak terjemahan yang dilahirkannya adalah Hunain ibn Ishaq al-Abadi yang merupakan seorang Kristen Nestorian (194-260 H/ 810-873 M). Ia adalah seorang penerjemah yang dikumpulkan  oleh Yuhana Ibn Masawaih dan kemudian belajar ilmu kedokteran darinya. Ia menguasai beberapa bahasa penting saat itu karena memuat banyak kebudayaan besar, seperti bahasa Persia, Yunani, Yunani dan bahasaArab. Hasil terjemahan Hunain ini dihargai emas oleh khalifah setimbang dengan berat buku yang diterjemahkannya. Buku-buku yang besar saat itu ia ringkas sehingga dapat dibaca dengan mudah oleh orang yang menggelutinya. Di antara buku yang ia terjemahkan ke dalam bahasaArab adalah buku Politicus, Timaues karya Plato dan Etika serta fisika karya Aristoteles. Masih banyak penerjemah yang lain yang telah menyumbangkan kemahiran dan penguasaan pengetahuan mereka bagi khazanah perpustakaan Bait al-Hikmah.
Di antara buku-buku filsafat terpenting yang diterjemahkan ke dalam bahasaArab oleh tim yang terdiri atas Hunain, Hubaisy sepupu Hunain dan Isa ibn Yahya murid Hunain adalah Analytica posteriora karya Aristoteles, Synopsis of the Ethics karya Galen serta ringkasan karya-karya Plato seperti Sophist, Permenides, Politicus, Republic dan Laws. Sementara karya-karya Aristoteles seperti Categories, Hermeneutica, Generation and Corruption, Nichomachean Ethics diarabkan oleh Ishaq ibn Hunain dari bahasa Suryani.  Selain proses penerjemahan, masih cukup banyak juga buku-buku Yunani dan Suryani yang ditafsirkan atau diringkas oleh para penerjemah yang kebetulan menguasai pengetahuan tentang isi buku tersebut.
Namun demikian, proses penerjemahan yang terjadi secara besar-besaran ini tidak semuanya berhasil mancapai hasil yang sukses sebagai sebuah terjemahan yang layak. Ada beberapa buku terjemahan yang bahkan menyulitkan pembaca untuk memahami isi buku. Di antara orang yang menderita akibat buruknys mutu sebuah terjemahan adalah Ibnu Sina. Menurut Jamil Shaliba, Ibnu Sina pernah membaca  buku terjemahan Metafisika Aristoteles sebanyak empat puluh kali, tetapi ia sama sekali tidak dapat mengerti maksud dari tulisan tersebut. Hal ini setidaknya dikarenakan dua hal, pertama karena memang sulit dan begitu dalamnya tulisan Aristoteles tentang Metafisika dan kedua karena kesulitan proses penerjemahannnya ke dalam bahasaArab. Buruknya beberapa mutu terjemahan juga dikarenakan metode terjemahan yang terlalu harfiah dari bahasa non-Arab ke dalam bahasaArab. Ibnu Abi Usbu’aih pernah mengkategorikan tingkat mutu terjemahan ketika itu, yakni tingkat baik seperti terjemahan Hunain ibn Ishaq dan anaknya Ishaq Ibn Hunain, tingkat sedang ada pada terjemahan Ibnu Na’imah dan Tsabit ibn Qurrah. Dan tingkat yang ketiga adalah buruk, seperti yang ada pada terjemahan Ibn al-Bitriq.
Motivasi Gerakan Penerjemahan
Setidaknya ada dua motivasi yang mendorong gerakan penerjemahan yang sudah dimulai sejak zaman Bani Umayah dan kemudian menemukan puncaknya pada dinasti Bani ‘Abbasiyah. Pertama motovasi praktis dan kedua motivasi kultural. Pada motivasi yang pertama (ba’its ‘amali), ada kebutuhan pada bangsaArab saat itu untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari luar Islam. Pengetahuan-pengetahuan tersebut secara praktis dapat membantu meringankan urusan-urusan yang berkenaan dengan hajat hidup umat Islam ketika itu. Yang dimaksud dengan pengetahuan-pengetahuan luar yang dibutuhkan oleh umat Islam saat itu adalah seperti ilmu-ilmu Kimia, kedokteran, fisika, matematika, dan falak (astronomi). Ilmu-ilmu ini secara praktis memang langsung berhubungan dengan hajat hidup umat Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah seperti penentuan waktu Shalat, hukum faraidl (pembagian harta waris), masalah kesehatan dan lain sebagainya.
Motivasi yang kedua adalah motivasi kultural (ba’its tsaqafi). Ada kebutuhan pada masyarakat Islam untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan Persia, Yunani untuk menguatkan sistem hukum Islam dan menangkal aqidah yang datang dari luar Islam. Ketika terjadi gelombang kebudayaan luar dalam dunia Islam yang meliputi aqidah kaum Majusi (penyembah api) dan kaum Dahriah, kekhalifahan ‘Abbasiyah mengangap perlu bagi kaum muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu logika serta sistem berpikir rasionalis lainnya untuk menangkal aqidah yang datang dari luar itu. Umat Islam dianjurkan untuk mempelajari logika Aristoteles, agar dapat berdebat dengan keyakinan yang datang dari luar.
Selain itu ada sebuah kisah yang diceritakan oleh Ibn al-Nadim tentang motivasi penerjemahan buku-buku filsafat pada masa kekuasaan khalifah al-Ma’mun. Ia menceritakan bahwa pada suatu malam, khalifah al-Ma’mun bermimpi berjumpa dengan seorang laki-laki yang memakai pakaian putih, jidatnya botak, alisnya menyambung dan mata agak kebiru-biruan. Laki-laki ini duduk di atas singgasana khalifah al-Ma’mun. Kemudian khalifah al-Ma’mun bertanya kepada laki-laki itu, “siapa engkau?”. Laki-laki itu menjawab “aku Aristoteles.” Dalam mimpi itu, khalifah al-Ma’mun merasa sangat senang karena dapat bertemu dengan filsuf yang menjadi pujaannya. Kemudian al-Ma’mun bertanya kepada laki-laki yang mengaku sebagai Aristoteles, “wahai sang filsuf, aku ingin bertanya, apa itu ‘baik’?” Laki-laki itu menjawab: “baik itu adalah apa yang baik menurut akal.” “Kemudian apa lagi wahai sang filsuf ?”, khalifah bertanya lagi. “apa yang baik menurut syari’at” laki-laki itu menjawab lagi. “Kemudian apa lagi wahai sang filsuf?” khalifah bertanya lagi. “Apa yang baik menurut kebanyakan (jumhur)” laki-laki itu menjawab, dan tidak ada setelah itu.
Sepintas lalu mungkin kita akan menyimpulkan  bahwa mimpi khalifah al-Ma’mun itu hanya sekedar bagian dari kembang tidur semata. Namun Ibn al-Nadim, dalam bukunya al-Fihrist, sangat meyakini bahwa mimpi itu menjadi motivator yang cukup kuat bagi al-Ma’mun untuk menggerakkan penerjemahan pada masa kekuasaannya. Sampai-sampai ia mengirim surat kepada raja Romawi untuk meminta izinnya agar buku-buku yang ada di kerajaan Romawi dapat diterjemahkan oleh para penerjemah yang ada di perpustakaan Bait al-Hikmah. Namun dalam catatan yang lain, gerakan penerjemahan itu buka semata-mata karena mimpi yang dialami oleh sang khalifah, melainkan lebih dikarenakan dari hasil renungan atas mimpi itu bahwa proses penerjemahan yang ia lakukan itu baik dari perspektif nalar maupun syariat. Selain itu mungkin saja terjadinya mimpi itu juga dikarenakan oleh kecenderungan sang khalifah pada mazhab mu’tazilah.
Di balik gencarnya penerjemahan buku-buku Yunani yang dilakukan oleh umat Islam pada masa itu, ada sebuah bidang yang tidak terlalu diminati, yakni bidang sastra, seperti karya Homerus. Mengapa? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Di antaranya adalah karena adanya keyakinan dalam masyarakatArab bahwa sastraArab bersifat self sufficient, sehingga  mereka tidak terlalu memperhatikan buku-buku sastra yang ada dalam bahasa Yunani. Selain itu sastra juga tidak memberikan pengaruh apa pun tehadap proses penguatan aqidah umat Islam. Namun argumentasi ini tidak terlalu kuat karena pada sisi yang lain umat Islam  cukup gemar menerjemahkan buku-buku sastra yang berasal dari kebudayaan Persia dan India yang kebetulan beragama Majusi dan Dahriah. Sehingga muncul alasan yang lain bahwa tidak adanya minat umat Islam untuk menerjemahkan karya sastra Yunani lebih dikarenakan tidak cocoknya karya sastra Yunani bagi masyarakatArab bila dibandingkan dengan karya sastra dari Persia dan India. Sehingga dengan demikian, alasan tidak berkembangnya penerjemahan sastra Yunani tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi saja.
Pengaruh Karya-karya Terjemahan
Proses penerjemahan yang berlangsung selama kurang lebih dua abad telah menjadi berkah yang besar bagi umat Islam saat itu. Hal ini dapat dipahami karena proses penerjemahan ini menjadi mediator dalam dialog antara kebudayaan pengetahuan pra-Islam dengan umat Islam yang sedang haus ilmu. Khazanah kebudayaan besar yang meliputi Yunani, Persia dan India sedang mengalami kesepian di negerinya sendiri, di dunia Islam, karya-karya tersebut mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa. Sampai-sampai seorang khalifah mau membayar sebuah buku yang sudah diterjemahkan dengan nilai emas seberat buku tersebut. Selain itu, motivasi ini juga dilatarbelakangi oleh keyakinan umat Islam saat itu bahwa peradaban hanya dapat dibangun dengan ilmu pengetahuan yang kuat. Dan dalam melakukan proses itu, Islam yang baru saja berdiri tidak dapat melakukan tugas itu sendirian, melainkan harus dibantu dengan khazanah kebudayaan besar yang ada sebelumnya.
Pengaruh dari proses penerjemahan ini dapat kita lihat pada perkembangan dunia kedokteran, astronomi, matematika, hukum (qiyas dalam ilmu fiqih), politik dan filsafat itu sendiri. Dalam kedokteran, kita mengenal Ibnu Sina, politik pada al-Farabi, matematika pada al-Biruni, astronomi pada Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, sejarah peradaban pada Ibnu Khaldun dan masih banyak lagi para sarjana muslim klasik yang telah menorehkan tinta emasnya bagi peradaban Islam karena bersentuhan dengan karya-karya kebudayaan pra-Islam yang sudah diterjemahkan. Dalam proses penerjemahan itu juga terjadi penyerapan bahasa Yunani yang kemudian menjadi bahasaArab. Seperti kata al-falsafah, al-musiqy, al-kimya, al-jigrafiyah dan lainnya
Perpaduan antara semangat umat Islam dengan kebudayaan pra-Islam melahirkan sebuah sintesa yang tidak sederhana. Sintesa yang dihasilkan bukan hanya sekedar penjiplakan pengetahuan sebelumnya yang kemudian diberi label Islam karena telah diterjemahkan ke dalam bahasaArab. Lebih dari itu, sintesa ini juga meliputi proses reproduksi yang giat dilakukan oleh para ilmuan muslim. Karya-karya filsafat yang diterjemahkan dari bahasa Yunani tidak berhenti hanya pada hasil terjemahan namun telah merangsang para intelektual muslim untuk mengomentari atau sekedar memberikan sebuah penafsiran atas karya-karya filsuf Yunani itu.
Warna kebudayaan ilmiah pra-Islam yang dominan pada pandangan dunia umat Islam dapat kita lihat dalam bentuk corak berpikir rasional atau dalam metode historis yang dikembangkan oleh para periwayat hadits. Dalam teks-teks yang ditulis pada masa itu, cukup banyak metode atau tradisi filosofis yang tersaji dalam  kajian-kajian ilmu alam. Terutama pada kajian-kajian yang mendasarkan diri pada matematika. Hukum qiyas atau analogi adalah salah satu pengaruh logika yang dapat kita lihat dalam wilayah fikih. Pengaruh-pengaruh ini menjadi inheren dalam kebudayaan Islam sehingga dalam proses sejarah yang panjang kadang kita sulit untuk membedakan mana yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi.


Beberapa Aliran Filsafat Dalam Islam
Cukup sulit untuk mengklasifikasikan kecenderungan filsafat Islam dalam satu aliran yang rigid. Sebagai contoh, paham Neoplatonisme yang berkembang di kalangan filsuf Islam dianggap sebagai titik temu ajaran Plato dan Aristoteles.  Padahal, pada saat ini kita mengetahui bahwa dua filsuf ini memiliki jalan yang berbeda dengan Neoplatonisme yang dimaksud. Buku yang dianggap sebagai karya Aristoteles saat itu adalah Theology. Namun belakangan diketahui bahwa buku tersebut adalah karya tambahan dari Enneads-nya Plotinus.  Karenanya akan lebih aman bila kita mengatakan bahwa ada banyak corak Neoplatonisme dari pada hanya ada satu corak Neoplatonisme. Hal serupa juga dinyatakan oleh cak Nur dalam bukunya, Islam Doktrin dan Peradaban, bahwa paham Neoplatonisme yang sampai dan berkembang di kalangan filsuf Islam sudah tercampur dengan penafsiran Aristotelianisme. Sementara ajaran Aristoteles yang dipelajari oleh para filsuf Islam sebenarnya sudah bukan ajaran Aristoteles yang murni melainkan ajaran-ajaran dari para penafsir Aristoteles. Sehingga dengan demikian bukan Aristoteles sendiri yang berpengaruh dalam filsafat Islam melainkan Aristotelianisme
Untuk meneropong beberapa kecenderungan aliran dalam filsafat Islam, penulis menyajikan dua aliran yang menjadi kecenderungan sebagian besar filsuf Islam, yakni aliran Peripatetik dan aliran Iluminasi. Pada umumnya gaya berfilsafat peripatetik menjadi kecenderungan para filsuf Islam yang berada di wilayah barat seperti Andalusia. Sementara pada aliran Iluminasi, mereka yang mencoba memadukan filsafat Yunani dengan kebijaksanaan timur (oriental wisdom), pada umumnya berdiam di wilayah bagian timur seperti Persia dan Suriah.
Peripatetisme
Filsafat peripatetik dapat kita lihat pada gejala Aristotelianisme. Para filsuf Islam yang masuk dalam kategori filsuf peripatetik diantaranya adalah Ibnu Bajjah (wafat 533 H/ 1138 M), Ibnu Tufail (wafat 581 H/ 1185 M) dan Ibnu Rushd (520-595 H/1126-1198 M). Abad ke-11 menjadi saksi atas munculnya sejumlah ilmuwan  yang meletakkan dasar-dasar ilmiah yang genuine. Puncak dari perjalanan ini ada pada kelahiran kembali Aristotelianisme. Peripatetik yang dalam bahasaArab dikenal dengan nama al-Masyai’yyah berarti orang yang berjalan diambil dari kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan dalam mengajar.
Untuk melihat corak filsafat peripatetik, ada baiknya bila kita melihat beberapa filsuf yang berasal dari wilayah barat ini sekilas. Ibnu Bajjah  yang dikenal Avempace dalam bahasa latin telah menempatkan diri sebagai filsuf yang berdiri pada tradisi Neoplatonik-Peripatetik yang diperkenalkan oleh al-Farabi. Bagi Ibnu Bajjah, al-Farabi adalah satu-satunya guru logika, politik dan metafisika yang berasal dari wilayah timur. Tampaknya Ibnu Bajjah memiliki hubungan yang cukup dekat dengan filsuf wilayah timur yang satu ini. Hal ini dapat kita lihat juga pada karya Ibnu Bajjah yang berjudul Tadbir al-Mutawahhid yang mendasarkan pada pemikiran al-Farabi dengan cukup kental. Kedekatannya dengan al-Farabi yang dikenal sebagai guru kedua dalam filsafat di mana guru pertamanya adalah Aristoteles telah memberi warna tersendiri bagi metode filsafat Ibnu Bajjah.
Salah satu pemikiran Ibnu Bajjah adalah tentang empat tipe mahluk spiritual. Tipe pertama adalah bentuk-bentuk dari benda-benda langit (forms of the heavenly bodies) yang sama sekali bersifat imateriil. Ibnu Bajjah menyamakan tipe ini dengan akal-akal terpisah (separate intelligences) yang dalam kosmologi Aristotelian dan Islam diyakini sebagai penggerak benda-benda langit. Tipe kedua adalah akal capaian (mustafad) atau akal aktif yang juga bersifat immateriil. Tipe ketiga adalah bentuk-bentuk materiil yang diabstraksikan dari materi. Sedangkan tipe yang keempat adalah representasi-representasi yang tersimpan dalam tiga daya jiwa: sensus communis, imajinasi dan memori. Seperti bentuk-bentuk materiil, bentuk-bentuk ini juga dinaikkan ke tingkat spiritual melalui fungsi abstraktif yang terdapat pada jiwa manusia. Puncak dari fungsi abstraktif ini ialah pemikiran rasional.
Tokoh filsafat perpatetik lainnya adalah Ibnu Tufail yang lahir di Wadi ‘Asy dekat Granada. Salah satu karya yang cukup terkenal dari Ibnu Tufail adalah sebuah roman yang berjudul Hayy ibn Yaqzhan. Judul karya ini memang sama dengan dengan karya yang telah dibuat sebelumnya oleh Ibnu Sina. Dalam buku ini, Ibnu Tufail menekankan kebijaksanaan timur yang dapat diidentifikasikan sebagai tasawuf yang saat itu banyak ditolak oleh banyak filsuf, termasuk Ibnu Bajjah. Melalui karyanya ini, Ibnu Tufail mengaku dapat memecahkan pertentangan yang timbul antara filsafat dan agama atau akal dan iman. Dua hal yang bertentangan ini dapat diumpamakan sebagai kebenaran internal dan kebenaran eksternal yang pada prinsipnya sama-sama kebenaran. Namun dua macam kebenaran ini tidak bisa digeneralisasikan untuk siapa saja tanpa melihat kecerdasan yang dimiliki oleh orang bersangkutan. Karena kebenaran filsafat hanya dapat dicapai oleh orang-orang khusus yang memiliki kecerdasan yang tinggi maka ia tidak bisa diberikan begitu saja kepada orang awam. Sementara kebenaran agama yang melalui kitab suci Alquran yang menggunakan bahasa inderawi dan makna-makna harfiah akan dapat dengan mudah difahami oleh orang pada umumnya (awam).
Ibnu Rushd merupakan tokoh puncak dalam aliran filsafat peripatetik. Karena perkembangan filsafat paska Ibnu Rushd sudah mengambil jalan yang lain, yakni Iluminasi. Ia lahir pada 1126 M di Kordoba dan mempelajari banyak bidang, mulai bahasaArab, fikih, kalam hingga kedokteran. Seorang khalifah pernah memerintahkannya untuk menjelaskan karya-karya Aristoteles karena sangat sulit untuk dipahami. Ibnu Rushd menulis komentar secara komprenhensif mengenai karya-karya Aristoteles kecuali politics. Karya Aristoteles, Physics, Metaphysics, De Anima, De Coelo dan Analytica posteriora dikomentari oleh Ibnu Rushd dalam tiga versi, “komentar lengkap”, “komentar sedang” dan “komentar singkat.” Karya-karya Ibnu Rushd yang lebih orisinal dapat kita baca pada polemiknya dengan Imam al-Ghazali tentang kesesatan para filsuf pada Tahafut al-Tahafut (kerancuan dari buku Tahafut karya al-Ghazali). Atau pada Fashl al-Maqal dan al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah yang menyerang teologi al-Asy’ary dan menjelaskan hubungan filsafat dan agama yang sangat hangat pada saat itu
Dalam perdebantannya dengan para teolog mengenai penciptaan, Ibnu Rushd banyak diinspirasikan oleh pandangn Aristoteles. Menurut Ibnu Rushd, ‘penciptaan’ merupakan tindakan menggabungkan materi dengan bentuk atau teraktualisasinya potensi menjadi aktus. Jadi penciptaan bukanlah sesuatu yang berasal dari ketiadaan (creatio ex nixilo). Pandangan Ibnu Rushd yang ia petik dari buah pikiran Aristoteles ini berimplikasi pada proses tergabungnya bentuk dengan materi. Tuhan dalam hal ini menjadi pencipta unsur-unsur dari gabungan itu sendiri, yang tak lain adalah alam semesta. Pengabungan ini dapat berlangsung secara terus-menerus atau sekaligus. Bagi Ibnu Rushd, hanya penciptaan yang terus-menerus (ihdats da’im), seperti yang ia katakan dalam Tahafut al-Tahafut yang layak bagi penciptaan alam.
Illuminasionisme
Filsafat iluminasi yang dalam bahasa Arab disebut dengan Hikmat al-Isyraq dapat kita ikuti jejaknya mulai dari al-Maqtul Syihab al-Din al-Suhrawardi. Ia lahir di Aleppo, Suriah pada 1154 dan dihukum mati oleh Shaladin pada 1191 atas tuduhan kafir seperti yang diklaim oleh para teolog dan fuqaha. Dalam banyak risalah, al-Suhrawardi menyatakan bahwa pendapat-pendapatnya sesuai dengan metode peripatetik konvensional yang ia sebut sebagai metode diskursif yang baik. Namun metode tersebut tidak lagi memadai bagi mereka yang berusaha mencari Tuhan atau bagi yang ingin memadukan metode diskursif dengan pengalaman batin sekaligus. Menurut al-Suhrawardi, agar dapat melakukan tugas ini, seseorang dapat mengambil jalur filsafat iluminasi  atau Hikmat al-Isyraq.
Inti dari ajaran hikmat al-Isyraq al-Suhrawardi adalah tentang sifat dan pembiasan cahaya. Cahaya ini, menurutnya, tidak dapat didefinisikan karena merupakan realitas yang paling nyata dan yang menampakkan segala sesuatu. Cahaya ini juga merupakan substansi yang masuk ke dalam komposisi semua substansi yang lain. Segala sesuatu selain “Cahaya Murni” adalah zat yang membutuhkan penyangga atau sebagai substansi gelap. Objek-objek materil yang mampu menerima cahaya dan kegelapan sekaligus disebut barzakh.
Dalam hubungannya dengan objek-objek yang berada di bawahnya, cahaya memiliki dua bentuk, yakni cahaya yang terang pada dirinya dan cahaya yang menerangi yang lain. Cahaya yang terakhir ini merupakan penyebab tampaknya segala sesuatu yang tidak bisa tidak beremanasi darinya. Di puncak urutan wujud terdapat cahaya-cahaya murni yang membentuk anak tangga menaik. Pada bagian tertinggi dari urutan anak tangga ini disebut Cahaya di atas Cahaya yang menjadi sumber eksistensi semua cahaya yang ada di bawahnya, baik yang bersifat murni maupun campuran. Oleh al-Suhrawardi cahaya ini juga disebut Cahaya Mandiri, Cahaya Suci atau Wajib al-Wujud.
Filsuf yang juga banyak diinspirasikan oleh Hikmat al-Isyraq al-Suhrawardi namun kemudian memodifikasinya ajaran tersebut sedemikian rupa sehinga menjadi ilm al-huduri (knowledge by presence) adalah Mulla Shadra. Mulla Shadra lahir di Syiraz, Persia  pada tahun 1572 dan belajar pada guru-guru Isyraqi yang pada saat itu sedang menggejala di dalam tradisi filsafat Persia. Karya yang menjadi magnum opus Mulla Shadra  adalah Hikmat al-Muta’aliyah (hikmat transendental) yang lebih dikenal dengan al-asfar al-arba’ah (empat perjalanan). Empat perjalanan yang dimaksud oleh Mulla Shadra dikemukakan dalam al-asfar al-arba’ah sebagai berikut: pertama perjalanan dari makhluk menuju Tuhan, kedua perjalanan menuju Tuhan melalui bimbingan Tuhan, ketiga perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui bimbingan  Tuhan, dan yang keempat adalah perjalanan di dalam makhluk melalui bimbingan Tuhan.
Salah satu pemikiran Mulla Shadra yang sampai kini masih fenomenal dalam tradisi filsafat di Persia (baca: Iran - saat ini) adalah tentang ‘ilm al-huduri atau knowledge by presence. Ilmu ini biasanya dipertentangkan dengan knowledge by representation (‘ilm al-husuli). Menurut Mulla Shadra perbedaan antara ‘ilm al-huduri dengan ‘ilm al-Husuli ada pada hubungan antara subjek penahu dengan objek yang diketahui. Dalam ‘ilm al-husuli (knowledge by representation), hubungan antara subjek dengan objek jelas terpisah sehingga ada konsep dualisme di dalamnya. Sementara pada ‘ilm al-huduri (knowledge by presence) dualisme itu hilang. Yang ada adalah kesatuan antara subjek penahu dan objek yang diketahui. Salah seorang pakar ‘ilm al-huduri kontemporer, Mehdi Ha’iri Yazdi menulis sebuah buku khusus tentang ‘ilm al-huduri dalam The Prisnciple of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence.
Penutup
Seperti yang telah penulis   utarakan di muka, gelombang kebudayaan pra-Islam tidaklah dapat dipisahkan dari perkembangan peradaban Islam klasik yang banyak disebut oleh sejarahwan muslim sebagai masa-masa kejayaan Islam atau golden age. Proses penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia dan India hanya salah satu pintu dialog antar peradaban, sementara tanpa proses reproduksi, penerjemahan hanya menjadi tumpukan karya yang sudah dialihbahasakan belaka. Karenanya, dukungan penguasa saat itu dan dengan gairah keilmuan umat Islam yang luar biasa menjadikan gelombang kebudayaan ini tidak sia-sia. Segala upaya, baik materil maupun semangat juang yang telah ditorehkan dalam bentuk maha karya telah menjadi pilar-pilar peradaban Islam yang sangat menentukan.
Bila peradaban Islam klasik banyak ditopang oleh kebudayaan sebelumnya, hal yang sama juga dialami oleh bangsa Barat pada abad kelimabelas. Semangat kelahiran kembali (renaissans) yang dikobarkan oleh masyarakat Eropa Barat tidak bisa dilepaskan dari peran ilmuwan muslim yang telah menularkan semangat pengetahuan pada masayarakat Eropa saat itu. Khusus dalam bidang filsafat, Jamil Shaliba pernah memberikan catatannya atas pengaruh pemikir Islam di dunia Barat (Eropa). Menurutnya pengaruh peradaban  Islam klasik bagi peradaban Barat Modern masih lebih besar dibandingkan dengan pengaruh peradaban Yunani bagi peradaban Islam klasik. Pada saat ini, setelah terjadi kebangkitan di dunia Islam, umat kembali harus banyak belajar dari para pemikir barat yang sudah jauh meninggalkan dunia Islam.
Sejarah Singkat Kaum Syi’ah
Ide tentang hak Ali beserta anak keturunannya atas jabatan Khalifah atau Imam telah ada sejak saat wafatnya Nabi. Dalam pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah, yang berlangsung begitu Nabi wafat sudah ada usul bahwa yang diinginkan untuk menjadi khalifah atau imam adalah dari kalangan Ahlul Bait.
Riwayat lain menceritakan, bersamaan waktunya dengan pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah itu berlangsung pula rapat di rumah Fatimah binti Rasulullah yang dipimpin Ali dan dihadiri oleh seluruh keluarga Bani Hasyim. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan, Abbas paman Nabi telah mendesak ali untuk meminta kepastian Nabi siapa yang akan ditunjuk menjadi pengganti beliau. Ali menolak permintaan Abbas itu, karena beliau khawatir Nabi menunjuk orang lain, sehingga tertutup kemungkinan baginya untuk menjadi khalifah. Apalagi Ali sendiri tidak yakin, sakit Nabi itu akan menyebabkan kewafatannya.
Jadi pada saat wafatnya Nabi, masyarakat muslim Madinah terpecah kepada tiga kelompok :
1.      Bani Hasyim, termasuk Ali yang menghendaki hak legitimasi itu untuk mereka (ahlul bait).
2.      Muhajirin, yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar dan menghendaki hak kekhilafahan itu untuk kelompok Muhajirin.
3.      Ansor, yang dipimpin oleh Ubadah ibn Shamit dan menginginkan jabatan khalifah itu untuk golongan mereka.
Pemikiran ketiga kelompok tersebut dalam masalah kepemimpinan negara akhirnya dikembangkan oleh tiga golongan, Syi’ah mengembangkan pemikiran kelompok pertama, Sunni mengembangkan ide kelompok kedua dan ide kelompok ketiga dikembangkan oleh Khawarij.

AKHLAK TASAWUF


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.................................................................................................. 1
B.    Rumusan Masalah........................................................................................ .... 1
BAB II PEMBAHASAN
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA AKHLAK DAN ILMU TASAWUF.............. 6
SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA.................................................................. 9
PEMBAGIAN TASAWUF DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGINYA..................................................................................... 11
MAQAMAT dan AHWAL.......................................................................................... 16
AJARAN TASAWUF PADA MASA AWAL, TOKOH, DAN FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGINYA..................................................................................... 21
AJARAN TASAWUF PADA MASA BERIKUT, TOKOH, DAN FAKTOR
YANG MELATARBELAKANGINYA........................................................................... 25
ANTARA TASAWUF DAN TAREKAT........................................................................ 27
KEDUDUKAN TASAWUF DALAM ISLAM................................................................. 31
TASAWUF DI INDONESIA....................................................................................... 36
TASAWUF DALAM PERKEMBANGAN MODERN..................................................... 40
TASAWUF DAN ETOS KERJA................................................................................ 43
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhlak Tasawwuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan, secara historis dengan teologis akhlak tasawwuf tampil mengawal dan memandu perjalanan hidup umar agar selamat dunia dan akhirat. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad SAW. Adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima.
Khazanah pemikiran dan pandangan di bidang akhlak da tasawwuf itu kemudian menemukan momentum pengembangan dalam sejarah, antara lain ditandai oleh munculnya sejumlah besar ulama tasawwuf dan ulama di bidang akhlak.
Bersamaan dengan itu perkembangan teknologi di bidang alat-alat anti hamil, makanan minuman, dan obat-obatan telah membuka peluang terciptanya kesempatan untuk membuat produk alat-alat, makanan, minuman dan obat-obatan terlarang yang menghancurkan masa depan generasi muda. Tempat-tempat beredarnya obat terlarang semakin canggih. Demikian juga sarana yang membawa orang lupa pada tuhan, dan cenderung maksiat terbuka lebar di mana-mana. Semua in semakin enambah beban tugas akhlak tasawuf.
Melihat demikian pentingnya akhlak tasawwuf dalam kehidupan ini tidaklah mengherankan jika akhlak tasawwuf ditentukan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh kita semua dikarenakan pentingnya tersebut.
Disadari bahwa masih banyak bidang akhlak tasawwuf yang dapat dikemukakan, namun keterbatasan ilmu yang kami miliki kami mohon maaf jika mempunyai kesalahan dalam pengumpulan data yang kami kumpulkan ini.
B.    Rumusan Masalah
- Bagaimana untuk memahami tujuan dari akhlak dan tasawwuf?
- Apa saja faidah dari mempelajari akhlak tasawwuf ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ilmu Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat di gunakan untuk mendefinisikan akhlak yaitu pendekatan linguistic (kebahasan), dan pendekatan terminologik (peristilahan). Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut di atas tampaknya kurang pas, sebab isim mashdar dari kata akhlaqa bukan dari kata akhlaq tetapi ikhlaq. Berkenaan dengan ini maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara Lingustik kata akhlak merupakan isim jaded atau isim mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Secara bahasa akhlak berasal dari kata اخلق – يخلق – اخلاقا artinya perangai, kebiasaan, watak, peradaban yang baik, agama. Kata akhlak sama dengan kata khuluq.

انما بعثت لا تمم مكارم الاخلاق
Artinya : bahwasanya aku di utus (allah) untuk menyempurkan keluhuran budi pekerti. (HR. AHMAD)
Secara istilah akhlak berasal dari :
a)     Ibnu Miskawaih: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
b)    Imam Ghazali: sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
c)     Ibrahim Anis dalam Mu`jam al-Wasith : sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
d)    Dalam kitab Dairatul Ma`arif : sifat-sifat yang terdidik.
Dari atas tak ada perbedaan akan tetapi memilki kemiripan antara satu dengan yang lain. Definisi – definisi akhlak tersebut adalah subtansial tampak saling melengkapi,
B.    Ruang Lingkup Akhlak
Jika definisi tentang ilmu akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas tentang perbuatan – perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatab yang baik atau perbuatan yang buruk.
Dengan mengemukakan beberapa literaratur tentang akhlak tersebut menunjukan bahwa keberadaan ilmu akhlak sebagai sebuah disiplin ilmu agama sudah sejajar dengan ilmu-ilmu keIslaman lainnya, seperti tafsir, tauhid, fiqh, sejarah Islam, dan lai-lain.
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia. Dan selanjutnya di tentukan kriterianya apakah itu baik atau buruk.
Definisi dari ruang lingkup akhlak:
  • Perbuatan-perbuatan manusia menurut ukuran baik dan buruk.
  • Objeknya adalah norma atau penilaian terhadap perbuatan tersebut.
  • Perbuatan tersebut baik perbuatan individu maupun kolektif.
C.    Tujuan Akhlak
Tujuan akhlak adalah menggapai suatu kebahagiaan hidup umat manusia baik di dunia dan di akhirat. Dikarekan itulah kita sebagai manusia untuk hidup saling membantu baik dari pekerjaan, kebutuhan atau lainnya.
Tujuan mempelajari akhlak diantaranya adalah menghindari pemisahan antara akhlak dan ibadah. Atau bila kita memakai istilah: menghindari pemisahan agama dengan dunia (sekulerisme). Kita sering mendengar celotehan, “Agama adalah urusan akhirat sedang masalah dunia adalah urusan masing-masing.” Atau ungkapan, ”Agama adalah urusan masjid, di luar itu terserah semau gue.” Maka jangan heran terhadap seseorang yang beribadah, kemudian di lain waktu akhlaknya tidak benar. Ini merupakan kesalahan fatal. Kita pun sering menjumpai orang-orang yang amanah dan jujur, tetapi mereka tidak shalat. Ini juga keliru.[1]
D.    Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Berkenaan dengan manfaat mempelajari ilmu akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebgaai berikut :
Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya yang menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan yang lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemilkinya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk pebuatan buruk.
Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan marahsehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima NUR cahayaTuhan.[2]
Seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria perbuatan baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk.
Ilmua akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang memiliki IPTEK yang maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu pengetahuaan yang Ia miliki itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia. Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka bumi.
Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat membahyakan dirinya.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia beruasaha melakukannya, dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.
E.    Pengertian Tasawwuf
Tasawwuf adalah bersungguh-sungguh (dalam berbuat baik) dan meninggalkan sifat-sifat tercela (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 7).
Aslinya Tasawuf (yaitu jalan tasawuf) adalah tekun beribadah, berhubungan langsung kepada ALLAH, menjauhi diri dari kemewahan dan hiasan duniawi, Zuhud (tidak suka) pada kelezatan, harta dan pangkat yang diburu banyak orang, dan menyendiri dari makhluk di dalam kholwat untuk beribadah (Lihat kitab Zhuhrul Islam IV-Halaman 151).
Adapun batasan tasawuf adalah : Maka berkata Junaed : yaitu bahwa kebenaran mematikanmu dari dirimu dan kebenaran tersebut menghidupkanmu dengan kebenaran tersebut. Dan ia berkata juga : Adalah kamu bersama ALLAH tanpa ketergantungan. Dan dikatakan : Masuk pada segala ciptaan yang mulya dan keluar dari segala ciptaan yang hina. Dan dikatakan : Yaitu akhlak mulia yang tampak pada zaman yang mulia beserta kaum yang mulia. Dan dikatakan : Bahwa kamu tidak memiliki sesuatu dan sesuatu itu tidak memiliki kamu. Dan dikatakan : Tasawuf itu dibangun atas 3 macam :
a.     Berpegang dengan kefakiran dan menjadi fakir
b.    kenyataan berkorban dan mementingkan orang lain
c.     Meninggalkan mengatur dan memilih
Menurut Ma’ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Peranan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pentingnya akhlak atau sopan santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H, karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya: ana Allah…ana al-Haqq (aku adalah Allah….aku adalah yang maha benar).
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.
F.    Hubungan Akhlak dengan Tasawuf
Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan horizontal antara sesame manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi vertical antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak.
Para ahli ilmu tasawwuf pada umumnya membagi tasawwuf kepada tiga bagian:
1) Tasawwuf falsafi
2) Tasawwuf akhlaki
3) Tasawwuf amali
Yang memiliki tujuannya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang terceladan menghias diri dengan perbatab yang terpuji.
G.    Tujuan Mempelajari Tasawwuf
Tujuannya adalah Ma’rifatullah (mengenal ALLAH secara mutlak dan lebih jelas). Tasawwuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah. Namun tasawwuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh Al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman atau pun tata cara yang dilakukan.
Melihat dari situ kita dapat untuk bisa memahami betapa pentingnya mengenal Allah secara lebih dalam dan memahaminya dengan benar. Sama juga dengan kebersihan diri dan taqarrub, tapi kita tak boleh melanggar apapun yang telah al-qur`an berikan.
H.    Faedah Dari Mempelajari Tasawwuf
Saat kita telah memahami tassawwuf itu kita mulai dapat membedakan mana yang baik dan tidak, Bagi tasawwuf mendidik hati dan ma’rifah Allah Yang Maha Mengetahui, sepertimana kata Ibn `Ajibah: Buah hasilnya ialah kelapangan (mulia) nafsu, selamat dada dan akhlak yang mulia bersama setiap makhluk.
Faedah tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di akhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan abadi.

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA AKHLAK DAN ILMU TASAWUF

A.    Persamaan Etika, Moral, dan Akhlak
1.     Persamaan
  • Persamaan ketiganya  terletak pada fungsi dan peran, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk.
  • Secara rinci persamaan tersebut terdapat dalam tiga hal:
1.     Objek: yaitu perbuatan manusia
2.     Ukuran: yaitu baik dan buruk
3.     Tujuan: membentuk kepribadian manusia[3]
2.     Perbedaan
1.     Sumber atau acuan:
o    Etika sumber acuannya adalah akal
o    Moral sumbernya norma atau adapt istiadat
o    Akhlak bersumber dari wahyu
2.     Sifat Pemikiran:
o    Etika bersifat filososfis
o    Moral bersifat empiris
o    Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal
3.     Proses munculnya perbuatan:
    • Etika muncul ketika ad aide
    • Moral muncul karena pertimbangan suasana
    • Akhlak muncul secara spontan atau tanpa pertimbangan.[4]
B.    Hubungan Manusia dengan Etika, Moral dan Akhlak
§  Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian fakta hukum yang mengenaskan dalam perjalanan Republik ini. Mafia hukum bertebaran dimana-mana, bahkan sampai mencabik-cabik prosedur hukum yang telah dijalankan pemerintah. Makelar hukum yang biasa dikenal markus juga begityu perkasa merekayasa berbagai status hukum yang tak jelas duduk perkaranya.
§  Akhirnya, aparat penegak hukum menjadi aktor yang merusak tatanan sistem hukum itu sendiri. Fakta hukum di Indonesia inilah yang sekarang menjadi keluh-kesah masyarakat. Bahkan masyarakat sekarang tidak sedikit yang apriori, bahkan tidak lagi percaya atas kasus perkara yang diajukan ke meja hijau. Karena hukum sudah dibeli oleh oknum tak bertanggungjawab. Kasus “cicak” versus “buaya” yang sampai sekarang belum usai adalah fakta empiric bobroknya penegakan hukum di Indonesia.
§  Berangkat dari fakta inilah, menarik kalau kita menjelajah buku bertajuk “Etika dan Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas”. Bertolak dari pemikirannya Thomas Aquinas, penulis melihat bahwa hukum pada dasarnya merupakan “peta jalan” menuju kebahagiaan. Hukum merancang atau memetakan arah yang harus diambil manusia dalam perbuatan, jika manusia ingin mencapai tujuan akhir yang dicarinya.
§  Peta tersebut adalah hasil karya budi manusia, sebab sebelum peta itu dibuat terlebih dahulu orang harus memikirkan tujuannya dan jalan yang dapat menuntunnya kea rah tujuan tersebut. Demikian juga arah dan tujuan hidup manusia. Dalam hal ini, hukum selalu merupakan perintah atau petunjuk akal budi yang mengatur perbuatan manusia menuju sasarannya, yakni kebahagiaan an kebaikan umum (hlm. 243).
§  Alam pandangan hukum kodrat, manusia akan secara alamiah membentuk dan mengoraganisir diri dalam membentuk tatanan sosial dan politik. Semua itu dilakukan manusia demi memenuhi kebutuhan hidup bersama berdasarkan kebaikan dan kesejahteraan umum. Sebenarnya, bagi Aquinas, dalam diri manusia sudah ada tiga aspek pengaturan yang ditetapkan. Yang pertama, berhubungan dengan aturan akal budi, karena semua perilaku dan perasaan kita harus diatur berdasarkan aturan akal budi. Kedua, berhubungan dengan aturan yang berasal dari hukum ilahi, yang dipergunakan untuk mengatur manusia dalam segala kehidupannya.
§  Seandainya manusia menurut kodratnya harus hidup sendirian, dua aspek pengaturan ini sudah memadai, namun karena manusia menurut hukum kodratnya adalah makhluq politik dan makhluq sosial, maka diperlukan aturan ketiga, yakni manusia harus diarahkan untuk hidup (selalu) dalam hubungan dengan sesamanya.
§  Independensi manusia dalam menegakkan hukum ini mendapat perhatian serius dari Aquinas. Karena setiap persona mempunyai substansi kehidupannya sendiri yang berperan sangat penting dalam penegakan sebuah hukum. Nilai-nilai dasar kemanusiaan sebenarnya sudah melekat dalam diri persona manusia. Kedudukan yang substansial ini dikarenakan, pertama, manusia adalah makhluq otonom dan unik; kedua, manusia adalah persona yang korelatif. Otonomi dan kebebasan adalah dimensi transedental manusia sebagai persona. Manusia juga memiliki kodrat rasional, sehingga manusia adalah makhluq yang “sadar diri” atau memiliki kemampuan untuk berbuat secara manusiawi. Sedangkan dalam kodrat substansial, manusia mampu untuk menghadirkan diri dan berkembang sebagai subjek yang otonom.
§  Kodrat rasional yang substansial inilah yang membentuk pola etis kehidupan manusia. Karena dalam diri manusia terdapat kecenderungan pada kebaikan sesuai dengan kodrat yang juga berlaku untuk semua substansi, sedemikian rupa sehingga setiap substansi mengusahakan pelestarian keberadaannya sesuai dengan hekakat kodratnya. Dalam kaitan inilah, Aquinas menyatakan bahwa segala sesuatu yang diketahui hekaket tujuan akhir, memiliki hakekat baik. Pernyataan ini menjadi akar penjabaran Aquinas tentang teori moralnya. Karena makhluq rasional yang berakal budi, maka manusia haruslah “sadar diri” dalam posisinya sebagai makhluq. Dengan “adar diri” ini, manusia akan menjadi tuan atas perbuatannya. Tuan bagi perbuatan inilah yang mengantarkan manusia kepada hakekat kemanusiaanya, dan disitulah manusia dengan akal budinya berjalan dalam nilai etis moralnya dalam menjalankan kehidupan.
§  Akal budi manusia akan menuntun manusia untuk menemukan wujud kebaikan dan keadilan yang didambakan. Akal budi menjadi asas pertama perbuatan manusia, dan hukum merupakan aturan dan ukurannya, yang sudah seharusnya hukum memang bersumber dari akal budi. Jika hukum disusun supaya dapat mengikat perbuatan manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia menuju tujuan akhir, yakni kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan ketaatan moral untuk menjadikan hukum sebagai penegak tata social yang harmonis dan seimbang. Rasa kebaikan dan keadilan akan membingkai moralitas dalam penegakan hukum.
§  Moralitas penegak hukum bisa ditegakkan dengan selalu mencerahkan akal budianya untuk terus “sadar diri” atas keberadaannya sebagai “tuan” atas perbuatan yang dijalankan. “Sadar diri” inilah yang menjadi pangkal tolak yang diajukan Aquinas dalam membingkai hubungan etika dalam penegakan hukum. Kesadaran diri manusia harus selalu diolah, karena bagi Aquinas, kesadaran diri merupakan potensi yang harus ditafsirkan secara kritis, sehingga akan melahirkan gagasan yang segar dan mencerahkan. Makhluq yang “sadar diri” pastilah akan membuka jalan baru kehidupan yang mencerahkan dan membahagiakan.
§  Dalam konteks ini, fakta rusaknya penegakan hukum di Indonesia bisa ditafsirkan sebagai ambruknya nilai “sadar diri”, sehingga jatuhlah nilai dan hekakat hukum. Penegak hukum bukan lagi “tuan” atas perbutannya, tetapi “tuan” bagi kekuasaan, uang, dan jabatan.[5]

SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA

Sebagai sejarahwan mengaitkan sejarah tashawuf dengan Imam Ja’far Al-Shadiq ibn Muhammad Bagir ibn Ali’ Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali Ibn Abi Thalib. Imam Ja’far, meski amat dihormati dan dianggap sebagai guru keempat-empat para imam kaum Ahlusunnah-yakni Imam Abu Hanifah, Maliki; Syafi’i dan ibn Hanbal-adalah imam kelima dari mazhab syi’ah Itsna Asyariah. Kenyataannya, meski tak banyak Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Syafi’i kemungkinan akibat  kritik-kritik keras yang ditujukan kepadanya oleh kecenderungan untuk membela ahlul bait (keluarga Nabi) ujar-ujar Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi, seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al-Mishri, Jabir bin Hayyan, dan Al-Hajj.
Dalam sejarah pemikiran dan praktik Islam, tasawuf mengalami pasang surut. Lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin sejak abad ke-2 H. lewat pribadi-pribadi seperti Hasan Al-Bashri, Sufyan al-Tsauri al-Harits ibn Asad Al Muhasibi, B Yazid Al Bustami dan sebagainya. Tasawuf tak pernah bebas dari kritikan. Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tahap[6];.
1.     Tahap Zuhud (Asketisme)
  • Tahap awal perkembangan tasawuf ini menentang mulai akhir abad ke-1 H sampai kurang lebih abad ke-2. Gerakan zuhud ini pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Bashrah, kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir.
  • Berikut ini adalah tokoh-tokoh menurut tempat-tempat perkembangannya:
  • Para Zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah al-Jarrah (w.18 H) Abu Dzar Al Ghifari (w.22 H) Salmah Al-Farisi (w.32 H). Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H). Sedangkan dari kalangan satu generasi setelah masa Nabi (tabi’in) termasuk diantaranya adalah Said ibn Musayyab (w. 91 H) dan Salim Ibn Abdullah (w.106 H).
2.     Tahap Tasawuf (Abad III dan IV H)
  • Pada paruh pertama abad ke-3 H, wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada aspek praktis (amali) berupa penanaman akhlak belaka. Para sufi dalam tahap ini mulai masuk ke aspek teoretis (nazhari) dengan jalan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal ha; maqam, hal ma’rifah, tauhid (dalam maknanya yang khas tasawuf), fana, hulul, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al-Darani (w. 254 H) Dzul Nun Al Mishri (w. 245 H) dan Junaid Al-Baghdadi.


3.     Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H)
  • Tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi adalah tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya. Sebagai ahli memasukkan al-Hajjaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami juga ke dalam kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfan (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
4.     Tahap Tarekat (Abad VII H  dan seterusnya)
  • Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya seperti  Tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 298 H), baru pada masa-masa inilah tarekat berkembang dengan pesat. Termasuk diantaranya; tarekat Qadariyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (termasuk wilayah Iran sekarang). Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan Tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawadi (w. 563 H). Namun dari semua tarekat yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah tasawuf, yang memiliki pengikut paling luas adalah tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat yang sekarang telah memiliki banyak variasi ini pada mulanya didirkan di Bukhara, Asia Tengah oleh Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.

PEMBAGIAN TASAWUF DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA

A.    Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.[7]
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1.     Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2.     Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3.     Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.[8]
B.    Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.[9]
C.    Tasawuf Syi’i
Kalau berbicara tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki perbedaan. Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan tuhannya karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.[10]
D.    Perkembangan Tasawuf Akhlaqi, Falsafi, Syi’i
Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna-makna intuisi-intuisi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in kecenderungan orang terhadap ajaran Islm secara lebih analistis sudah muncul. Ajaran Islam dipandanga dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek batiniah(spritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”. Pendalaman dan aspek dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun tanpa mengabaikankan aspek luarnya yang dimotifasikan untk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan tuhan dan kebebasan egoisme.
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase: pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yaitu tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriah. Sikap asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini, terdapat individu-individu dari kalangan-kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam hidupnya, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dalam kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan atau tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan AL-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabiah Al-Adawiah (wafat pada 185 H). kedua tokoh ini sebagai zahid.
Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan tentang jiwa dan tingkah laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu. Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan tentang akhlak.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaannya dilihat dari kemudahan landasan- landasan atau alur befikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktek yang lebih menekankan perilaku manusia yang terpuji.
Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilakan akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai benyak mengandung muatan anjuran untuk untuk berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriah yang sangat formal namun tidak diterima sepenuhnya oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengamalan ajaran Islam hingga aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksiakn ketidakberesan perilaku (akhlak) di sekitarnya. Mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa itu tasawuf identik dengan akhlak.
Kondisi tersebut kurang lebih berkembang selama satu abad, kemudian pada abad ketiga hijriah, muncul jenis tasawuf lain yang lebih menonjol pemikiran ekslusif. Golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang kemudian dihukum mati karena manyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi, Al-hallaj mengalami peristiwa naas seperti itu karena paham hululnya ketika itu sangat kontrofersial dengan kenyataan di masyarakat yang tengah mengarungi jenis tasawuf akhlaqi. Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj dianggap membahayan pemikiran umat. Banyak pengamat menilai bahwa tasawuf jenis ini terpengaruh unsur-unsur di luar Islam.
Pada abad kelima hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima taswuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.
Sejak abad keenam hijriah, sebagai akibat pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkan tarikat-tarikat untuk mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).
Sejak abad keenam Hijriah, muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya, tidak dapat disebut murni tasawuf, tetapi juga juga tidak dapat disebut murni filsafat. Di antara mereka terdapat Syukhrawadi Al-Maqtul (wafat pada tahun 549 H) penyusun kitab Hikmah Al-Isyraqiah, syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (wafat pada tahun 638 H), penyair sufi Mesir, Ibnu Faridh wafat pada tahun 632), Abdul Haqq Ibnu Sab’in Al-Mursi(meninggal pada tahun 669 H), serta tokoh-tokoh yang lainnya yang sealiran. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan pendapat asing, seperti filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme. Mereka pun banyak mempunyai teori mendalam mengenai jiwa, moral, pengetahuan, wujud dan sangat bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf maupun filsafat, dan berdampak besar bagi para sufi mutakhir.
Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang , yakni tasawuf akhlaqi. Kemudian, tasawuf akhlaqi ini didentik dengan tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan tasawuf sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memegari tasawufnya dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang lebih berorientasi pada pengokohan akhlak , dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul.
Tasawuf akhlaqi(sunni), sebagaimana dituturkan Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya, diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriayah, Imam Al-Ghazali, dan para pemimpin thariqat yang memadukan taswuf dengan filsafat, sebagaimana disebut di atas. Para sufi yang juga seorang filosof ini banyak mendapat kecaman dari para fuqaha akibat pernyataan-pernyataan mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ini ialah Ibnu Taimiah (wafat pada tahun 728 H).
Selama abad kelima Hijriah, aliran tasawuf sunni terus tumbuh dan berkembang. Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai tenggelam dan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam hijriah dan seterusnya. Tenggelamnya aliran kedua ini pada dasarnya merupakan imbas kejayaan aliran teologi ahlu sunnah wal jama’ah di atas aliran-aliran lainnya. Dia antara kritik keras, teologi ahlu sunnah wal jama’ah dialamatkan pada keekstriman tasawuf Abu Yazid Al-Busthami, Al-Hallaj, para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya yang mulai timbul di kalangan tasawuf. Kejayaan taswuf Sunni diakibatkan oleh kepiawaian Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat 324 H) dalam menggagas pemikiran Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam.
Oleh karena itu, pada abag kelima Hijriah cenderung mengalami pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya pada landasan Al-Quraan dan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan Al-Harrawi dipandang sebagai tokoh sufi paling menonjol pada abad ini yang member bentik tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah memperlihatkan dengan jelas bagaiman Al-Qusyairi mengembalikan landasan tasawuf pada doktrin ahlu sunnah. Dalam penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara implisi menolak para sufi yang mengajarakan syahadat, yang mengucapkan ungkapan penuh kesan tentang terjadimya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, terutama sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnay sifat baru-Nya.

MAQAMAT dan AHWAL
A.    Pengertian Maqamat
“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik) sebelum bisa mencapai ujung perjalanan. Istilah Maqamat sebenarnya dipahami berbeda oeh para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
B.    Maqamat
Sebagaimana telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus dilalui oleh seorang salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan. Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala ikatan dunia. Adapun  maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai  berikut[11]:
1.     Taubat
Dalam ajaran tasawuf  konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah
2.     Wara’
Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن عبد الله بن سماعة عن الأوزاعي عن قرة عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه
“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”.
Adapun makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
3.     Zuhud
Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak menginginkannya”, “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik yang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir konsep zuhud diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr. Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf  z berarti zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunia (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat  dan mengharapkan ridha Allah SWT.

4.     Faqr
Faqr bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat hubungannya dengan sikap zuhud. Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki apa-apa, namun orang faqir adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata, orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr berarti telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk memenuhi hajat hidupnya.  Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub,  mengutip seorang sufi yang mengatakan “Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”. Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”
5.     Sabr
Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.
6.     Tawakkal
Tawakkal bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
7.     Ridha
Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda. Seperti halnya ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari maqam atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat ulama mengenai makna ridha, diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan bahwa: الرضا: أن لو جعل الله جهنم على يمينه ما سأل أن يحولها إلى يساره. , sedang Abu Bakar Ibn Thahir berkata: الرضا: إخراج الراهية من القلب، حتى لا يكون فيه إلا فرح وسرور. . Menurut Imam al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam perspektif tasawuf ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.
C.    Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.[12]
1.     Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
2.     Khauf
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan  bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
3.     Raja’
Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka.
4.     Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf  adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah.
5.     Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha.
6.     Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
7.     Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf  musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah.
8.     Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .

AJARAN TASAWUF PADA MASA AWAL, TOKOH, DAN FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA[13]

Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang  pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini  kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan  dari-Nya. Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini  kemudian menjadi suatu asas  dalam  perkembangan  tasawuf  di  dunia  Islam   (Al Taftazani,  1979:  72). Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al- Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).
Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada  abad  ke-4  H  dengan  sistem  ajaran  yang  semakin  mapan.  Belakangan,  al- Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki  kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah  inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’. Umumnya, kaum sufi  dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkan-nya   dipandang   oleh    para    fuqaha’   sebagai   kafir,   zindiq   dan menyelisihi aturan aturan syari’at. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya, terlebih  lagi  ketika  corak  falsafi  masuk  dalam  tradisi  keilmuan  tasawuf  dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H .
Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia  tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf  praktis  atau  yang  disebut  juga  tasawuf  sunni  atau  akhlaki  merupakan bentuk tasawuf  yang memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat.
Sedangkan   tasawuf   teoritis   atau   juga   disebut   tasawuf   falsafi13     cenderung menekankan  pada  aspek  pemikiran  metafisik  dengan  memadukan  antara  filsafat dengan  ketasawufan  (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang sering  disebut  sebagai  penganut  tasawuf  falsafi  adalah  Abu  Yazid  al-Bustami (261/875), al-Hallaj  (309/992), al-Hamadani (525/1131),  al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi14.
Secara  mendasar  kemunculan  pemikiran  tasawuf  adalah  sebagai  reaksi terhadap  kemewahan hidup dan ketidakpastian  nilai  (Al-Afifi,  1989:  20). Tetapi secara  umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan  urban  dan   kemewahan;  (2)  masuknya  gnostisisme  Helenisme  yang mendukung  corak  kehidupan   pertapaan  daripada  aktif  di  masyarakat;  dan  (3) masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti- dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3) bahasan  tentang  sistem  pengenalan  dan  hubungan  kedekatan  antara  Tuhan  dan makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya
dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).
Dari segi  sejarah,  sufisme  sebenarnya  dapat  dibaca  dalam  2  tingkat:  (1) sufisme   sebagai  semangat  atau  jiwa  yang  hidup  dalam  dinamika  masyarakat muslim;  (2)  sufisme  yang  tampak  melekat  bersama  masyarakat  melalui  bentuk- bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak  semata-mata   berimplikasi  pada  persebaran   syiar  Islam  melainkan  juga berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut  muncul  reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin  ‘Umar sebagai bentuk “protes” dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi  sosial  yang  parah  mempengaruhi  umat  mencari  pedoman doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka (Effendi, 1993: 34). Secara garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui tiga  tahapan  berikut:  (1)  khanaqah,  yakni  terbentuknya  komunitas  syaikh-murid dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan  yang  bercorak  aristokratis  ini  berkembang  sekitar  abad  ke-10  M;  (2) tariqah,  yakni  perkembangan  lebih  lanjut  di  abad  berikutnya  dimana  formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode  ketasawufan  mulai terbentuk mapan; (3)  taifa,  yakni  masa  persebaran  ajaran  dan  pengikut  dari  suatu  tarekat  yang melestarikan ajaran syaikh tertentu (Effendi, 1993: 67).
Tarekat  adalah  lembaga  tempat  berhimpunnya  orang-orang  yang  melalui ikatan  hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin spiritual tertentu   untuk   menemukan   kejernihan   jiwa   dan   hati.   Varian   tarekat   dapat disejajarkan  sebagai   mazhab  dalam  bidang  tasawuf  sebagaimana  muncul  pula varian-varian mazhabi dalam bidang pemikiran kalam dan fikih.
Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama,  mereka adalah  kelompok  spiritual  dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua kelompok  lainnya  yang  disebut  kelompok formal  dan  kelompok  Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri  dari   ulama-ulama   mutakallim   (ahli   teologi), sedangkan kelompok grave terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan  fuqaha.  Kedua,  bahwa  tasawuf  itu hanyalah suatu kecenderungan  spiritual  yang membentuk  etika  moral  dan lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya  kita  katakan seorang  muhaddttsin  sekaligus  juga  ulama sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.
Ajaran  Tasawuf  pada   dasarnya   merupakan   bagian   dari prinsip-prinsip  Islam  sejak  awal.  Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya  mendidik  diri  dan  keluarga  untuk  hidup bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama   dalam   kehidupannya   sehari-hari.   Ibnu   Khaldun mengungkapkan,   pola   dasar  tasawuf  adalah  kedisiplinan beribadah, konsentrasi  tujuan  hidup  menuju  Allah  (untuk mendapatkan  ridla-Nya),  dan  upaya  membebaskan  diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan  duniawi,  sehingga  tidak diperbudak   harta   atau  tahta,  atau  kesenangan  duniawi lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi  pada kalangan   kaum   muslim  angkatan  pertama. Pada angkatan berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan  duniawi  menjadi  lebih  berat. Ketika itulah angkatan  pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.
Keadaan  tersebut  berkelanjutan  hingga   mencapai   puncak perkembangannya  pada  akhir  abad 4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah,  sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti kita dapat simak dalam karya sastra  “cerita  seribu satu  malam”  di masa  kejayaan  kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami  perkembangan  yang tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi mulai  ditandai  juga  dengan   berkembangnya   suatu   cara penjelasan  teoritis  yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut ilmu Tasawuf.
Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma  yang dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keIslaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam  menjabarkan prinsip-prinsip  ajaran  Islam  mengenai  penataan kehidupan pribadi dan masyarakat yang  sudah  berkembang  selama  tiga abad—dengan  munculnya  disiplin  ilmu Tasawuf—terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk  penalaran ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari’ah, dan produk penalaran ulama tasawuf yang  disebut  haqiqah.  Selanjutnya para fuqaha joke disebut ahli syari’ah dan para ulama tasawuf disebut ahli haqiqah.
Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga  keagamaan  non-formal  yang  namanya “tarekat” asal kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita  jumpai  Tarekat Qadiriyah    yang    cukup    dikenal,   disamping   Tarekat Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah.  Dalam satu  dasawarsa  terakhir  ini,  kita melihat adanya langkah lebih  maju  dalam  perkembangan  tarekat-tarekat   tersebut dengan  adanya  koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat  ikatan  yang  dikenal  dengan nama Jam’iyah Ahl al-Thariqah al-Mu’tabarah.   Pada   tahun   lima  puluhan, pemerintah  Mesir menempatkan  pembinaan   dan   koordinasi tarekat-terekat   tersebut  di  bawah  Departemen  Bimbingan Nasional  (Wizarah  al-Irsyad   al-Qaumi).   Pertimbangannya ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu merupakan  bagian  dari  potensi  bangsa/umat,  yang  berhak mendapatkan  perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.
Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu,  ada  baiknya  kita mempertanyakan   kapankah   munculnya   tarekat   (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam sejarah  perkembangan gerakan  tasawuf Dr.  Kamil  Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan  sistem  thariqah  (tarekat)  itu Syekh Abdul Qadir  al-Jailani  (w.  561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya  menyebar  ke  seluruh  penjuru dunia Islam, yang mendapat  sambutan  luas  di  Aljazair,  Ghinia  dan   Jawa. Sedangkan  di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa’iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa’i.  Dan  tempat ketiga  diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat  tradisi baru  dengan  menggunakan  alat-alat  musik  sebagai  sarana dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.
Dalam  periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya. Yang  juga  perlu  dicatat  di  sini ialah munculnya Tarekat Sanusiyah yang  mempunyai  disiplin  tinggi  mirip  disiplin militer.  Di  bawah  syeikhnya  yang  terakhir, Sayyid Ahmad al-Syarif  al-Sanusi  berhasil  menggalang   satu   kekuatan perlawanan  rakyat  yang  mampu memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris  secara  berturut-turut,  dan  akhirnya membebaskan  wilayah  Libya.  Mungkin sifat keras dari iklim yang  dibentuk  Tarekat  Sanusiyah  inilah yang mewarnai Mu’ammar  al-Qadafi  mengambil  alih  kekuasaan dan berkuasa sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.

AJARAN TASAWUF PADA MASA BERIKUT, TOKOH, DAN FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA

Sejarah perkembangan Tasawuf Sebagaimana telah kami kemukakan didepan bahwa istilah tasawuf tidak dikenal dimasa Nabi SAW dan para sahabatnya. Tetapi yg dikenal adl zuhud dan wara` . Istilah sufi pertama kali digunakan yaitu kepada Abu Hasyim Al Kufi dan ia orang yg pertama kali membangun tempat ibadah khusus bagi sufi di Ramlah wilayah Syam . Meskipun demikian orang sufi selalu menisbatkan tasawuf kepada Nabi SAW melewati Ali dilanjutkan oleh Hasan Al-Basri dst.
Sederetan nama sahabat yg menjadi rujukan ahli tasawuf ; Abu Bakar As-Shidiq Umar bin Khattab Utsman bin Affan Ali bin Abi Thalib Salman Al Farisi Abu Dzar Al Ghifari Miqdad bin Al Aswaddll. Kemudian pada masa tabiin terkenal nama Hasan Al Basri dan Sofyan Al-Tsauri . Baru kemudian murid-murid Abdul Wahid bin Yazid pengikut Hasan Al Basri membangun tempat khusus utk warga sufi disebut duwairah demikian pendapat Ibnu Taimiyah.
Pada abad kedua dikenal nama-nama Ibrahim bin Adham Al Balakhi dan Rabiah Al Adawiyah . Ciri menonjol pada pengikut Hasan Al Basri adl rasa takut yg berlebih kepada Allah selain zuhud dan banyak ibadah sementara pada Rabiah Al Adawiyah lbh menonjol rasa muhabbah kepada Allah SWT. Sementara para ulama menyebutkan perlunya keseimbangan agar tidak menyimpang kata mereka “Barang siapa menyembah Allah SWT hanya dgn rasa muhabbah saja dia menjadi zindik barangsiapa menyembah Allah SWT hanya dgn rasa takut maka dia menjadi khawariij dan barang siapa menyembah Allah SWT dgn harapan maka dia menjadi murjiah dan barang siapa menyembah Allah SWT dgn cinta rasa takut dan harapan maka ia mukmin sejati”.
Pada abad ketiga tasawuf semakin solid dan berkembang dgn tokoh sentral Abu Sulaiman Addaaroony Ahmad Al Hawary Abul Faidh Zunnun Al Misri Bisyir Al Hafi Abu Bakar Al-Syibli Al Haris Al Muhasibi Assirri Assiqthi Abul Yazid Al Busthami Al-Junaid dan Al Hallaj.
Pada masa ini dan sesudahnya tasawuf berkembang menjadi kelompok-kelompok yg ditokohi oleh seorang syaikh. Seperti diungkap oleh Al Hajwairi ” Pada masa itu lahirlah tarekat-tarekat sufi berjumlah duabelas dan masing-masing menisbatkan dirinya kepada seorang syaikh dari syaikh-syaikh abad tiga dan empat”.
Pada abad keempat tasawuf lbh berkembang lagi sehingga mereka menyebutkan dirinya sebagai ahli hakekat/ bathin sementara ulama lain terutama ulama fiqh disebut sebagai ahli dhohir. Pada masa inilah trend sufi ditetapkan mempunyai empat tahapan atau empat ilmu ;
Ilmu syariah
Ilmu Tariqoh
Ilmu Hakekat
Ilmu Ma`rifat
Pada abad kelima dan seterusnya tasawuf sangat dipengaruhi oleh paham syiah dan filsafat.
Ajaran Sufi Ajaran sufi mengandung usaha mujahadah dan riyadhoh dimana seorang salik harus melewati maqomat dan ahwaal. Maqomat menurut Assarraj Aththusi dalam kitab Alluma` yaitu kondisi ketaatan seorang hamba dihadapan Allah .Maka dia menyebut maqom berupa taubat wara` zuhud . Kemudian salik akan mendapatkan ahwaal yaitu kondisi hati yg bersih krn banyak berdzikir berupa muroqobah tenang menyaksikan kebesaran Allah yakin dll.
Ajaran sufi yg paling banyak ditentang adl konsep hulul yg dicetuskan oleh Abu Yazid Al Busthami dimana Allah masuk kedalam diri seorang sufi sehingga dia mengucapkan syatahat yaitu ungkapan-ungkapan irrasional yg tidak bisa dipahami layaknya orang gila. Hal itu ditentang oleh para ulama krn dianggap bertentangan dgn aqidah Islam dan ajaran seperti itu tidak dikenal dimasa Nabi SAW dan para sahabatnya. Konsep kedua yg ditentang adl wihdatul wujud menyatu dgn Allah SWT. Konsep ini dicetuskan oleh Al Hallaj yg ditentang oleh ulama-ulama dimasanya kemudian dia diajukan kepengadilan krn tidak mau bertaubat akhirnya dihukum mati.

ANTARA TASAWUF DAN TAREKAT

A.    Persamaannya
Tasawuf ialah penyucian “hati” dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan “hati”-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw. “Untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan cara, yakni  metode   khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.[14]
B.    Perbedaannya
        Tasawuf adalah Ilmu dalam Islam yang mempelajari tentang hati atau disebut juga syari`ah bathiniah. Ilmu ini dikenal juga dengan Ilmu Siir. Ilmu ini dipelajari untuk menyelaraskan Ilmu Tauhid (Iman) dan Ilmu Syari`ah (Amal), dengan tujuan akhir menjadikan seorang muslim menjadi hamba yang muqarrabun (dekat dengan Allah). Sedangkan Ilmu yang dipelajari dalam tarekat disebut ilmu Tasawuf.  Seorang yang menjalankan Tasawuf disebut Sufi. Dalam menjalankan Tasawuf, dalam sebuah tarekat ada seorang pembimbing (guru) disebut Mursyid. Dan murid-muridnya disebut Salik (orang yang berjalan).[15]
C.    Hubungan antara Tasawuf dan Tarekat
Tarekat  merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf, yang mana dengannya seseorang itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan menggantikannya dengan sifat-sifat akhlak yang terpuji. Ia juga merupakan Batin bagi Syari’at yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakekat amalan-amalan salih di dalam Agama Islam. Tarekat  berasal dari lafal Arab thariqah artinya jalan. Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju Tuhan,  Ilmu batin, (tasawuf).
Perkataan Tarekat (“jalan” bertasawuf yang bersifat praktis).Tarekat tidak membicarakan filsafat tasawuf, tetapi merupakan amalan (tasawuf) atau prakarsanya. Pengalaman tarekat merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syari`at Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersi­fat ritual maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-prak­tek dan mengerjakan amalan yang bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah sholat wajib, dan mempratekkan riyadah.
Dengan demikian, tampaklah hubungan  yang  erat antara tasawuf dan  tarekat, bahwa antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.  “Tasawuf adalah sebuah ideologi dari institusi yang menaunginya, yaitu  tarekat. Atau dengan kata lain, tarekat merupakan madzhab-madzhab dalam tasawuf. Dan tarekat merupakan  implementasi dari suatu ajaran tasawuf yang kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf secara bersama-sama”[16]
D.    Macam-Macam Tarekat
1.     Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Uwaisi Al-Bukhari (w.1389M) di Turkistan.Tarekat ini merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.   Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband.  Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq adalah: Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”.  Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. sewaktu berjalan.  Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”.  Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”.  Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjama`ah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen. Baz gasyt: “kembali”, ”memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur),  Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid.  Yad dasyt: “mengingat kembali”.
Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi: Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Wuquf-i qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”.
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah dari pada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjema`ah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjema`ah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa, di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Adapun ciri khas dari tarekat Naqsyabandiyah adalah  mengutamakan Jazbah Suluk yang mana dengan berkat Tawajjuh seorang Syekh yang sempurna akan terhasillah kepada seseorang penuntut itu beberapa Ahwal dan Kaifiat dimana  Zauq dan Shauq penuntut itu bertambah, merasakan kelazatan khas zikir dan ibadat serta memperoleh ketenangan dan ketenteraman hati. Seseorang yang mengalami tarikan Jazbah disebut sebagai Majzub.
Dalam Tarekat Naqsyabandiyah ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan derajat adalah berdasarkan persahabatan dengan Syekh dan Tawajjuh Syekh. Bersahabat dengan Syekh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat berdampingan dengan  Baginda Nabi Muhammad SAW.  Murid hendaklah bersahabat dengan Syekh  dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan Syekh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki tangga peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam tarekat ini adalah sebagaimana  para sahabat menghadiri majelis  Baginda Nabi Muhammad SAW.
Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majelis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad SAW  dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam majelis Naqsyabandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan dapat merasakan maqam Syuhud dan ‘Irfan yang  akan diperoleh setelah begitu lama menuruti jalan-jalan tarekat yang lain. Kerana itu para Akabirin Naqsyabandiyah  mengatakan bahwa, “Thariqat kami pada ‘Ain hakikatnya merupakan Thariqat Para Sahabat”.   Dan dikatakan juga, “Dar Tariqah Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum Ast Dar Tariqah Ma Na Khwahad Aamad.”, maksudnya, “Dalam Thariqat kami siapapun pun tidak diharamkan dan barangsiapa yang telah diharamkan dalam Thariqat kami pasti tidak akan dapat datang.”
Di dalam tarekat Naqsyahbandiyah, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa berjaga-jaga) menduduki maqam yang suci dimana  di sisi Para Sahabat  dikenali sebagai Ihsan dan menurut istilah Para Sufiyah  disebut Musyahadah, Syuhud, Yad Dasyat atau ‘Ainul Yaqin, maksudnya ia  merupakan hakikat: “Bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Nya”
2.     Tarekat Qodiriyah
Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi (1077-1166M). Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia.
Syekh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat.  Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes, yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Tarekat ini  mementingkan kasih sayang terhadap semua makhluk, rendah hati dan menjauhi fanatisme dalam keagamaan maupun politik. Keistimewaan tarekatnya ialah zikir dengan menyebut-nyebut nama Tuhan.  Ada anggapan membaca Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani pada tanggal 10 malam tiap bulan bisa melepaskan kemiskinan. Karena itu manaqibnya populer, baik di Jawa maupun Sumatera. Adapun asas-asas dalam tarekat Qodiriyah ialah bercita-cita tinggi, melaksanakan cita-cita, membesarkan nikmat, memelihara kehormatan dan memperbaiki khidmat kepada Allah SWT. Sedangkan wirid dan zikir yang dilafalkan ialah “Lailahaillallahu” dengan berdiri sambil bersenam, mengepalkan tangan ke samping, ke depan, ke muka dengan badan yang sigap, dan putus ingatan dengan yang lain, kecuali hanya kepada Allah SWT.



Telah disebutkan pada pembahasan di muka, bahwa ajaran Akhlaq dan Tasawuf terdapat dalam sendi ajaran Ihsan, maka tasawuf itu sendiri merupakan pengamalan hamba yang melahirkan kebajikan rohani, untuk mendapatkan ma’rifah kepada Allah SWT.
Mengenai kedudukan Tasawuf dalam Islam, terdapat beberapa pendapat yang mengatakan, bahwa hal itu tidak termasuk bagian integral dari ajaran Islam, dengan mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
1.     Tidak terdapat satupun kata Tasawuf dan Sufi dalam Al-Qur’an maupun Hadith;
2.     Banyak istilah Tasawuf yang sering digunakan oleh Sufi, tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadith;
3.     Timbulnya istilah Tasawuf dan Sufi beserta dengan ajarannya, baru dikenal pada abad ketiga Hijriyah;
4.     Ajaran Tasawuf yang diamalkan oleh orang Islam, mirip dengan ajaran Mistik yang telah diamalkan oleh umat terdahulu.
Penulis tidak sependapat dengan keterangan di muka, dan tetap menganggap bahwa Tasawuf merupakan bagian dari ajaran Islam, yang sama dengan kedudukan akhlaq, meskipun dari sisi lain ada perbedaannya.
Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal” (amalan-amalan yang hukumnya lebih afdal), tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama.
Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith yang memuat kata Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha membukukan ajaran itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah, dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (symbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al-Qur’an dan Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadith, dengan perkataan “Udhkuru” atau “Fadhkuru”. Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya dengan istilah “Suluk”. Karena kalau tidak didasari dengan metode tersebut, maka tidak ada bedanya dengan akhlaq mulia terhadap Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf, tetapi masih tergolong ajaran Akhlaq.
Dan kalau dikatakan lagi, bahwa ajaran Tasawuf sebenarnya termasuk kelanjutan dari ajaran Mistik umat terdahulu, penulis memandang bahwa kemiripannya tidak berarti bahwa Tasawuf dalam Islam adalah Mistik umat terdahulu, tetapi memang banyak ajaran umat terdahulu masih dipertahankan oleh Islam; misalnya ajaran tentang perkawinan, khitanan, jual-beli, sewa-menyewa, pegadaian dan sebagainya.
Untuk melihat hal ini, perlu kita memperhatikan watak ajaran Islam yang berfungsi untuk melestarikan ajaran maupun tradisi umat terdahulu, meskipun kadang-kadang masih dilakukan penyempurnaan untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Islam yang menggunakannya.
Kemudian watak ajaran Islam yang lain, adalah menggantikan ajaran umat terdahulu dengan ajaran yang baru, kalau ajaran atau tradisi itu sangat berbahaya terhadap martabat manusia, merusak kesehatannya, serta mengganggu tatanan masyarakatnya; misalnya larangan berzina, minum khamar, mencuri dan sebagainya.
Lalu watak ajaran Islam yang lain lagi, adalah menciptakan suatu ajaran baru, yang sebenarnya tidak pernah ada pada umat terdahulu, dan hal itu merupakan kesempurnaan ajaran Islam dibandingkan dengan ajaran agama yang mendahuluinya. Maka tidaklah berarti bahwa ajaran Tasawuf yang mempunyai tradisi sama dengan tradisi mistik, sehingga dianggap bukan ajaran Islam.
Memang kalau ajaran Tasawuf itu hanya dilihat dari metodenya, yang sering disebut suluk, tentu tidak ada keterangannya di dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadith, karena hal itu merupakan penetapan ulama Tasawuf, yang barangkali dapat disamakan dengan hasil ijtihad Fuqaha dalam bidang hukum. Tentu saja hasil ijtihad itu juga tidak ditemukan teksnya secara nyata dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadith, namun bukan berarti bahwa hal itu berada di luar ajaran Islam.
Ulama Tasawuf, yang sering juga disebut “Ulama’ al-Muhaqqin” membuat tata cara peribadatan untuk mencapai tujuan Tasawuf, didasarkan atas konsepsi dan motivasi beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadith, antara lain berbunyi[17]:
Artinya:  Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Q. S. At-Tiin: 4-5.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman; berdhikirlah (dengan) menyebut (nama) Allah, dhikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbhilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Q. S. Al-Ahzab: 41-42.

Artinya: Sembahlah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya; maka apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu. H. R. Bukhary Muslim, yang bersumber dari Abu Hurairah.
Dalam ayat pertama, diterangkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baik kejadian, namun karena perbuatan manusia itu sendiri, maka Allah mengembalikannya kepada tempat yang sangat hina. Tempat inilah yang dimaksudkan oleh Sufi sebagai neraka. Dan untuk menghindarinya, maka Sufi membuat tata cara mengabdikan diri kepada Allah, yang disebut dengan “Suluk”, di mana di dalamnya diwarnai oleh zikir, sebagaimana anjuran dalam ayat kedua di muka, dengan kalimat “Udhkurullah Dhikran Katsira”… Sehingga Salik (peserta suluk) dapat mencapai tujuan Tasawufnya, yang disebut Ma’rifah; yaitu suatu pengenalan batin terhadap Allah, yang disebut dalam hadith di muka, sebagai perkataan pengabdian hamba kepada Allah, yang seolah-olah dapat melihat-Nya (A’budillah Kannaka Tarahu …).
Keterangan inilah yang memberikan gambaran, bahwa ajaran Tasawuf termasuk ajaran Islam,yang tercakup dalam sendi Ihsan, yang berfungsi untuk memperkuat pengamalan sendi Aqidah (Keimanan) dan sendi Shari’ah. Maka sering kita jumpai pembagian Tasawuf menjadi tiga macam, yaitu:
1.     Tasawuf Aqidah; yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang menekankan masalah-masalah metafisis (hal-hal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya. Karena setiap Sufi menekankan kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka memperbanyak ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan Syurga, dan tidak akan mendapatkan siksaan neraka. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf Aqidah berusaha melukiskan Ketunggalan Hakikat Allah, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak. Kemudian melukiskan alamat Allah SWT, dengan menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Dan salah satu indikasi Tasawuf Aqidah, ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah, yang disebut dengan “Al-Asman al-Husna”, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan zikir tertentu, untuk mencapai alamat itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba (Al-‘Abid) bisa mencapai hakikat Tuhan lewat alamat-Nya (sifat-sifat-Nya).
2.     Tasawuf Ibadah; yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia ibadah (Asraru al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai rahasia Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru al-Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya. Di samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a.     Tingkatan orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama;
b.    Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua;
c.     Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-Khawas), sebagai tingkatan ketiga.
Kalau tingkatan pertama dimaksudkan sebagai orang-orang biasa pada umumnya, maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya’), sedangkan tingkatan ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya’).
Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan oleh persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam, misalnya Taharah dibaginya menjadi empat tingkatan:
a.     Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan najis;
b.    Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan dosa;
c.     Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela;
d.    Taharah yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan menyembah sesuatu di luar Allah SWT.
Karena Tasawuf selalu menelusuri persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin, sedangkan Fiqh sering disebut Ilmu Zahir.
3.     Tasawuf Akhlaqi; yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain:
a.     Bertaubat (At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya yang buruk, sehingga ia menyesali perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik;
b.    Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan mempergunakan segala nikmat-Nya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya;
c.     Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah yang menimpanya.
d.    Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT. Setelah berbuat sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan;
e.     Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari riya (sifat menunjuk-nunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan yang kita lakukan.
Ini baru sebagian kecil saja akhlaq baik terhadap Tuhan yang kita bicarakan, tetapi pembicaraan Tasawuf selalu menuju kepada pembahasan yang lebih dalam lagi, yaitu hingga menelusuri kerahasiaannya. Jadi pembicaraan taubat, syukur, sabar, tawakkal dan ikhlas, dibahas dengan mengemukakan indikasi lahiriyahnya saja, maka hal itu termasuk lingkup pembahasan akhlaq; tetapi bila dibahasnya sampai menelusuri rahasianya, maka hal itu termasuk Tasawuf. Sehingga dari sinilah kita dapat melihat perbedaan Akhlaq dengan Tasawuf, namun dari sisi lain dapat dilihat kesamaannya, yaitu keduanya sama-sama tercakup dalam sendi Islam yang ketiga (Ihsan).

Pembagian Tasawuf yang ditinjau dari lingkup materi pembahasannya, maka dapat menghasilkan Tasawuf Aqidah, Tasawuf Ibadah dan Tasawuf Akhlaqi. Tetapi bila ditinjau dari sisi corak pemikiran atau konsepsi (teori-teori) yang terkandung di dalamnya, maka hal itu bisa menjadi Tasawuf Salafi, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi.
Dalam Tasawuf Salafi dan Tasawuf Sunni, system peribadatan dan teori-teori yang digunakannya, sama dengan yang telah dilakukan oleh Ulama-Ulama Salaf, sehingga kadang-kadang Tasawuf Sunni disebut juga Tasawuf Salafi. Lain halnya dengan Tasawuf Falsafi, ajarannya sudah dimasuki oleh teori-teori Filsafat; misalnya dipengaruhi oleh Filsafat Yahudi; Filsafat Kristen dan Filsafat Hindu. Maka tidak sedikit ajarannya yang hampir sama dengan agama yang mempengaruhinya, terutama konsepsi yang digunakan untuk mendapat hakikat ketuhanan; dengan istilah “Al-Hulul” (larutnya sifat ketuhanan ke dalam sifat kemanusiaan), “Al-Ittihad” (leburnya sifat hamba dengan sifat Allah), “Wihdatu al-Wujud” (menyatunya hamba dengan Allah) dan sebagainya. Dan barangkali inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa Tasawuf Islam itu tidak lain, kecuali hanya ajaran Mistik umat-umat terdahulu, yang telah ditransformasikan oleh Ulama Tasawuf ke dalam Islam. Tetapi tuduhan itupun dialamatkan pada Tasawuf Sunni dan Salafi, padahal sebenarnya ajaran Tasawuf tersebut masih konsisten dalam ajaran Islam. Hanya saja, barangkali ada tata caranya yang sudah dikembangkan oleh Ulama Tarekat pada masa sesudahnya yang akhirnya tidak persis sama dengan Tasawuf yang telah dipraktekkan oleh Ulama Sahabat dan Tabin di abad pertama dan kedua Hijriyah. Tentu saja, perkembangannya itu hanya sekedar memenuhi tuntutan zaman yang dilaluinya, sedangkan prinsipnya tidak bertentangan dengan pengalaman Ulama-Ulama Salaf.
Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa kedudukan Tasawuf berada pada sendi Ihsan, yang berfungsi untuk memberi warna yang lebih mendalam bagi sendi Aqidah dan sendi Syari’ah.

TASAWUF DI INDONESIA

Melihat perkembangan Islam di Asia Tenggara; Indonesia, Malaysia dan lainnya sepuluh tahun belakangan, salah satu pertanda paling mencolok adalah perhatian pada tasawuf di samping segi sosial-politik Islam yang seringkali kontroversial. Kalau kita memperhatikan laporan media-massa, kita akan mendapatkan betapa sering muncul laporan mengenai perkembangan tasawuf itu, seolah-olah ada kecenderungan baru cara keberagaman masyarakat yang beralih ke cara Sufistik.
Demikian yang sedang merebak adalah sufi perkotaan. Fenomena baru itu terjadi karena makin banyak santri-santri kota yang kian gemar mempelajari agama Islam. Secara historis, aktivitas tersebut merupakan pemodernan dari gerakan tasawuf sebelumnya. Dengan kata lain, orang ingin mempelajari tasawuf secara sungguh-sungguh dan tak lagi menganggap sesuatu yang kerap dipandang sebagai kekunoan, itu sebagai kajian di luar Islam.
Sesederhana apa pun, aktivitas ketasawufan di perkotaan bisa dianggap sebagai kebangkitan tasawuf. Itu karena masyarakat jenuh pada ibadah-ibadah yang hanya mengejar legalisme dan formalisme. Ketakinginan hidup dalam kehampaan spiritual, kehilangan visi keilahian, dan kerusakan moralitas juga turut mendorong kebangkitan tasawuf di perkotaan. Namun, segala sesuatu ada sejarahnya. Tasawuf sebenarnya muncul sebagai solusi krisis. Pertamakali tasawuf muncul di dunia Islam, ketika dunia Islam dilanda oleh materialisme, pada generasi tabi’in diperiode Umayah. Ketika materialisme melanda kaum muslimin di masa tabi’in, maka munculah Hasan al Basri yang menawarkan paradigma lain, lahir berikutnya al Gazali dan lain sebagainya.
Jadi setiap kali ada krisis, akan muncul sufisme. Di Indonesia juga begitu, ketika krisis melanda Indonesia 1997, maka fenomena tasawuf menjadi luar biasa, buku tasawuf dan majalah semacam Cahaya Sufi ini laku keras yang dibarengi dengan kemunculan Arifin Ilham, AA Gym, Ary Ginanjar, Amin Syukur dan masih banyak nama lain pengusung tasawuf. Semua itu berangkat dari kebutuhan psikologis secara massal.
Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa mereka yang meminati tasawuf sekarang ini masih baru dalam kerangka defensif saja. Mereka galau menjalani realitas kehidupan, kemudian mereka menemukan tasawuf dan merasa cocok dengan tasawuf karena tasawuf dirasa memberi solusi yang mereka cari selama ini.
Jangankan kita umat Islam, psikolog-psikolog Barat sekarang ini banyak yang masuk ke wilayah kecerdasan spiritual, yang sebenarnya merupakan wilayah tasawuf. Tapi karena pengaruh budaya sekuler, kecerdasan spiritual yang mereka miliki hanya melayang-layang saja dan tidak akan pernah menukik menyelesaikan masalah.

Sebenarnya pertama Islam masuk ke wilayah Melayu (Indonesia-Malysia) sudah bernuansa sufistik. atau dengan kata lain: Islam tasawuflah yang mula-mula berkembang dan mewarnai Islam di Indonesia-Malaysia pada tahap-tahap awal. Hampir mayoritas sejarawan dan peneliti mengakui bahwa penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di negara-negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis.
Itulah sebabnya “misionarisasi” yang dilakukan kaum sufi berkembang tanpa peran. Keberhasilan itu terutama ditentukan oleh pergaulan dengan kelompok-kelompok masyarakat dari rakyat kecil dan keteladanan yang melambangkan puncak kesalehan dan ketekunan dengan memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan, dan bantuan dalam semangat kebersamaan dan rasa persaudaraan murni.
Kaum sufi itu ibarat pakar psikologi yang menjelajahi segenap penjuru negeri demi menyebarkan kepercayaan Islam. Dari kemampuan memahami spirit Islam sehingga dapat berbicara sesuai dengan kapasitas (keyakinan dan budaya) audiensnya itulah, kaum sufi kemudian melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam.
Dengan kearifan dan cara pengajaran yang baik tersebut, mereka berhasil membumikan kalam Tuhan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Misalnya, mengalihkan kebiasaan “begadang” penduduk yang diisi dengan upacara ri-tual tertentu, saat itu menjadi sebuah halaqah zikir. Dengan kearifan serupa, para dai membolehkan musik tradisional gamelan yang merupakan seni kebanggaan kebudayaan klasik Indonesia dan paling digemari orang Jawa untuk mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Maka tak salah bila HAR Gibb menyebut keberhasilan metode dakwah pembauran yang adaptif dan bukan konfrontatif itu sebagai keberhasilan paling spektakuler di kawasan AsiaTenggara.[18]
Adapun kemunculan tasawuf yang dimotori oleh gerakan-gerakan tarekat yang ditandai dengan kemenyendirian para pengikut di beberapa pedesaan. Secara historis, itu berkaitan dengan politik isolasi yang dilakukan penjajah. Tindakan tersebut mendorong para pengikut tarekat menarik diri dari kehidupan perkotaan, menyingkir ke gunung-gunung, dan akhirnya mendirikan padepokan-padepokan atau pesantren-pesantren di tempat-tempat sunyi. Mereka melepaskan diri dari kehidupan politik, sosial, dan budaya perkotaan.
Kini, setelah kehidupan kian modern, rupa-rupanya terjadi perubahan yang mencolok. Sebagaimana pesantren-pesantren yang menyerbu perkotaan, tarekat tasawuf pun makin memosisikan diri sebagai bagian kehidupan perkotaan. Namun ada perbedaan paradigma antara tasawuf pedesaan dan perkotaan, bahwa tasawuf di pedesaan lebih menekankan kepada amaliyah, sedangkan tasawuf di perkotaan lebih mengarah kepada penghayatan nilai-nilai agama. Ia lebih tampil sebagai aktivitas yang berkaitan dengan penghilangan penyakit-penyakit hati dan refleksinya bermuara kepada moralitas
Perlu diketahui bahwa tasawuf adalah bagian terpenting dalam Islam, umpama ruh bagi jasad atau jantung bagi anggota tubuh lain. Maka jika tasawuf dipisahkan dari sisi amal atau keyakinan yang sahih, jelas akan menjadi sebuah kemusyrikan, kekafiran dan bid,ah sesat.
Kemudian, misi yang dibawa Rasulullah Saw seara garis besar ada tiga unsur:
Ta’lim, Pengajaran Ilmu Pengetahuan.[19]
Tadzkirah atau mauidzah, pemberi peringatan dalam bentuk ceramah keagamaan. Tazkiyah atau tarbiyah, bimbingan dan keteladanan (Qudwah). Ketiga misi ini telah menjadi ciri utama dai dan ulama Islam terdahulu yang tidak terpisahkan, setiap mereka adalah seorang guru, penceramah dan pembimbing. Meskipun secara prioritas mereka memilih menekuni salah satu bidang tertentu, namun kapabilitas mereka dalam ketiga unsur ini tidak diragukan.
Seorang yang pandai ilmu pengetahuan (alim) boleh jadi tidak pandai ceramah dan tarbiyah, namun seorang penceramah (mudzakir) harus alim meskipun bukan seorang murobi. Adapun seorang murobi wajib alim di samping juga harus seorang mudzakir. Jadi tasawuf dalam posisi ini adalah sebagai tazkiyah, yang pelakunya harus memenuhi dua syarat di atas, sebagai orang alim dalam ilmu keIslaman dan mudzakir yang pandai membangun komunkasi dakwah kepada seluruh masyarakat.
Namun realitanya, para dai dan ulama sekarang belum memenuhi syarat untuk menciptakan masyarakat yang membangun, baru sampai ke taraf membangun masyarakat. Para murobi yang tampil mengusung tasawuf bukanlah dari mereka yang telah mencapai puncak kecerdasan intelekual, emosional juga spiritual atau kesusksesan ilmu pengetahuan, penguasaan retorika dan suri teladan. Akan tetapi mereka masih mentah dalam bidangnya, mereka meminati tasawuf masih dalam kerangka defensif. Karena mereka memasuki tasawuf dimulai dari kegalauan dalam menjalani realitas kehidupan, kemudian menemukan dan merasa cocok dengan tasawuf yang dirasa memberi solusi yang mereka cari selama ini, bukan dari proses tarbiyah intensif di tangan seorang murobi yang mempunyai otoritas dari pendahulunya sehingga mata rantai itu sampai kepada Rasulullah SAW.
Jadi bangsa ini memerlukan tasawuf bukan sebagai ajaran (pemikiran) dan wejangan belaka, akan tetapi lebih memerlukan kepada sosok pribadi sebagai suri teladan akhlak dan qudwah dalam nilai-nilai spiritual Islam.
Bangsa ini butuh pemimpin besar. seorang yang mampu berfikir, merasa, dan cita rasanya itu melampaui sekat-sekat ruang dimana ia berada, waktu dimana ia hidup. Karenanya si orang besar harus berfikir 50 tahun kedepan atau 100 tahun kedepan. Kalau dia berbuat dia menyadari bahwa yang diperbuat itu juga akan ditonton dan direspon oleh 200.000.000 orang.
Seorang besar yang setelah menguasai ilmu pengetahuan dan retorika, ia juga punya ghiroh (semangat) tasawuf yang akan secara alami merontokkan penyakit nasional seperti korupsi, maksiat dan lain sebagainya.
Karena korupsi dan segala bentuk maksiat di Indonesia sudah menjadi konsep dan budaya. Semua orang korupsi dan tidak merasa bersalah; ah yang lain juga begitu!. Nah ini harus diatasi dengan contoh pemimpin yang diikuti dengan peraturan, tetapi untuk masyarakat kita keteledanan yang tinggi itu lebih efektif ketimbang demokratisasi. Seperti pilkada, tidak melahirkan banyak manfaat, karena orang masih bisa dibayar, tetapi keteladanan pemimpin itu sangat efektif. Dan itu yang dicari anak-anak muda sekarang.
Kiranya untuk konteks kekinian, hanya pemimpin yang bertasawuf saja yang dapat memberikan keteladanan pada generasi mendatang. Sehingga pendekatan sufistik di era sekarang ini tidak lagi pada mencari jalan keselamatan dan keuntungan materi, lebih dari itu sebuah pendekatan sufistik yang dapat menciptakan masyarakat yang mampu membangun masa depan.

TASAWUF DALAM PERKEMBANGAN MODERN

Ulama sufi memandang alam semesta sebagai makrokosmis sama dengan mikrokosmis. Manusia adalah dunia miniatur mikrokosmos yang merupakan cerminan makrokosmos, hukum alam mengatur seluruh manusia sehingga perbedaan antara ruh dan materi terhapus karena pada level sub-atom materi adalah kegelapan yang tidak mempunyai keberadaan nyata [20]. Kenyataannya memang sesuatu yang besar itu (makrokosmis) tersusun dari segala sesuatu yang kecil-kecil (mikrokosmis) yang membentuk suatu ikatan makro dan saling terkait. Para sufi dalam memahami hal tersebut melalui suatu pengalaman mistis “penyaksian” yang dalam bahasa mereka sebut sebagai “musyahadah” atau “ma’rifat”, seperti yang mereka katakan, yaitu barangsiapa ma’rifat ( terhadap ) Allah Subhaanahu Wa Ta’ala akan dikokohkan oleh keabadian dan dunia seisinya terasa sempit [21].
Perkembangan ilmu fisika modern selaras dengan pemikiran kaum sufi. Awal abad kedua puluh, fisika modern telah banyak dan begitu cepat mempengaruhi kehidupan manusia. Terutama dalam fisika atom yang dengan cepat banyak berdiri industri yang menggunakan dasar teori atom tersebut, sehingga alam semesta beserta isi dan segala fenomena yang ada di dalamnya mengenai struktur kosmologis dapat dipandang melalui teori fisika dan tasawuf. Terdapat titik-titik kesejajaran ketika memasuki dimensi dunia mistik religius dan fisika modern dalam memandang alam semesta.
Pengaruh perkembangan fisika modern tersebut juga menyentuh dalam pola pikir dan kebudayaan manusia. Perkembangan fisika modern tidak lepas dari perbaikan / revisi secara radikal terhadap fisika klasik (Newtonian) terutama pada bidang materi, ruang dan waktu, serta sebab akibat (kausalitas) yang menuju ke arah pemikiran yang bersifat mistis (abstrak), sehingga memunculkan metafisika.
Werner Heisenberg mengungkapkan seperti yang dikutip oleh Frtjof Capra dalam Tao of Physics, sebagai berikut :
Konstribusi ilmiah yang terbesar dalam fisika teoritis berasal dari Jepang sejak perang berakhir merupakan suatu indikasi dari bertemunya hubungan khusus antara ide-ide filsafat dalam tradisi Timur Jauh dan substansi filsafat dari teori quantum [22].
Keparalelan antara pemikiran dalam tasawuf dengan fisika modern yang menyebabkan adanya titik temu dan hubungan terjadi karena tasawuf didasarkan pada pemahaman langsung ke dalam alam realitas, sementara fisika didasarkan atas observasi terhadap fenomena-fenomena alam dan eksperimen-eksperimen ilmiah yang diinterpretasikan dan dikomunikasikan lewat kata-kata, dimana kata-kata tersebut terlampau abstrak ketika berdekatan dengan realitas yang menyebabkan kesadaran akan fakta inilah yang menjadi titik temu antara fisika modern dan sufi[23].
Nilai-nilai tasawuf yang mewarnai fisika modern yang ingin penulis ungkapkan dalam hal ini berhubungan dengan alam semesta terutama mengenai ruang dan waktu serta penyatuan dalam keberagaman sehingga dapat memperlihatkan bahwa dalam perkembangan fisika modern tidak terlepas dari etika-etika agama. Kita menyadari bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah membawa kepada pemikiran manusia seolah-olah dialah penguasa alam semesta karena dengan ilmunya manusia dapat mengendalikan alam lingkungannya dan berbuat semaunya untuk menguasai orang lain.
Tasawuf yang menekankan pada aspek pensucian hawa nafsu yang bertujuan untuk mengenal dan mencintai sang pencipta dan penguasa alam semesta, sebenarnya banyak sekali nilai-nilainya yang terkandung dalam fisika modern, sebagaimana yang telah dikatakan di atas mengenai materi  dalam level subatom atau dunia mikrokosmos, walaupun para fisikawan barat dalam memahaminya bersentuhan dengan mistis diluar Islam (Hindu, Budha, Zen, Tao dan lain-lain), maka penulis mencoba untuk mengungkapkannya melalui pemikiran-pemikiran Islam (tasawuf) misalnya fana’, baqa’, Jam’u dan lain-lain. Hal ini diharapkan dapat membuka wawasan terhadap pencinta fisika terutama muslimin dan muslimah agar dalam mempelajarinya tidak sebatas pada keilmuannya, tetapi lebih jauh dari itu untuk lebih mengenal dan mendekatkan diri pada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu penulis mencoba untuk mengungkapkan keparalelan tasawuf dan fisika modern dalam “Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Perkembangan Fisika Modern”.
Segala ilmu yang diperlukan manusia itu tersedia di dalam Al-Qur’an, meskipun secara garis besarnya saja, yang rinciannya dapat ditemukan pada Sunnah Rasul bagi ilmu keakheratan dan dalam alam semesta bagi ilmu keduniaan. Wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk mencari dan memperdalam ilmu sesuai dengan bidang dan kemampuannya agar dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Seorang muslim atau muslimah tidak boleh hanya mengutamakan ilmu keakheratan saja atau ilmu keduniaan saja, keduanya harus ada pada diri ummat Islam walaupun proporsinya tidak seimbang atau dominasi salah satunya.
Al-Qur’an secara global telah banyak membicarakan tentang ilmu pengetahuan alam dan teknologi, maka untuk mengetahui secara pastinya kita harus memiliki ilmu kealaman melalui pemahaman dan pengertian tentang alam semesta beserta sifat dan fenomenanya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah lapangan kegiatan yang terus menerus dikembangkan karena mempunyai manfaat sebagai penunjang kehidupan manusia.
Allah Subhaanahu Wa Ta'ala memberikan akal pada manusia agar dengan akal ini manusia bekerja dengan giat memikirkan secara serius dan mendalam tentang segala sesuatu dan segala peristiwa dalam jagad (universum) ini baik dengan metoda induksi maupun deduksi sehingga dicapai hakekat-hakekat yang lebih tinggi untuk kemudian ditingkatkan lagi sehingga manusia dengan akalnya itu dapat mengenal kebenaran yang tertinggi yaitu Allah Rabbul ‘Alamien.
Alam semesta yang diciptakan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala adalah sebuah laboratorium yang maha lengkap yang penuh berisi pertanda ke-Mahaan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala yang telah merancang, mencipta, memelihara dan kelak mengambilnya kembali. Laboratorium yang maha lengkap ini tidak akan berfungsi dan tidak akan menjadi dinamis bagi kehidupan manusia apabila manusia tidak mau merenungi dan memikirkan untuk mengolahnya. Manusia sebagai penggali dan pencari ilmu pengetahuan tidak cukup hanya dengan membaca saja tanpa berfikir. Dalam Al-Qur’an, manusia didorong untuk menggunakan akalnya dan banyak berfikir.
Manusia mencari ilmu pengetahuan kebanyakan berangkat dari hasil rangsangan-rangsangan yang ditangkap oleh indera lahiriah, dan setelah sampai di otak diurai menurut ilmu pengetahuan yang ada padanya kemudian dalam beberapa hal akan tiba pada titik ketidakmampuan otak untuk mengurai, karena rasionya sudah tidak dapat menjangkau lagi atau bukan lagi menjadi medan rasio. Namun demikian ilmu pengetahuan kealaman dalam hal mencari hakikat haruslah berangkat dengan keyakinan yang mantap terlebih dahulu, yakin bahwa manusia memiliki kemampuan terbatas serta sadar bahwa rasio manusia begaimanapun tingginya dan besar nilainya hanya sekedar pelengkap saja untuk mencapai hakikat. Keterbatasan akal atau rasio menunjukkan bahwa apa yang tidak rasional belum tentu tidak benar, kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an hingga kini dapat dikaji di dalam ilmu fisika, astronomi, dan kosmologi.
Fisika adalah ilmu yang mempelajari struktur dasar dan proses perubahan yang terjadi pada materi dan energi dan juga menyelidiki fenomena terutama yang diamati dari benda-benda tak bernyawa. Al-Qur’an menaruh perhatian sangat besar kepada ilmu tersebut seperti nampak dalam uraiannya tentang alam Ilahi yang amat menakjubkan, seperti sifat-sifat ruang dan waktu, materi serta gerakannya.

TASAWUF DAN ETOS KERJA[24]

Menghindari pebuatan dosa itu dimaksudkan supaya orang dalam bekerja tidak mengerjakan pekerjaan yang haram, seperti mencuri, merampok, korupsi, penyelundupan uang dan sejenisnya. Karena semua orang harus bekerja dan mencari rizki dengan mengerjakan pekerjaan yang halal
Begitu pula Zuhud. Zuhud berarti hidup sederhana, maksudnya setiap orang harus hidup scara wajar sesuai dengan keperluannya. Jadi, tidak boleh boros, menghambur-hamburkan harta yang dimiliki atau menggunakan hartanya untuk berbuat maksiat.
Dengan demikian, Zuhud tidak berarti tidak perlu kerja keras mencari uang. Bekerja keras itu boleh, malah wajib kalu diniatkan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Tetapi setelah uang itu diperoleh tidak boleh dihamburkan atau membuat lupa pada Tuhan, seperti tidak mengeluarkan zakat atau meninggalkan shalat dengan alas an sibuk bekerja.
Kemudian Qanaah. Ini berarti merasa cukup. Harta yang diperoleh diusahakan cukup untuk memenuhi keperluan hidup, walau sebenarnya pendapatannya kecil. Belanjaanya tidak melebihi pendapatanya jangan sampai lebih besar pasak dari pada tiang.
Kalau orang hidup yang berpegang kepada pribahasa lebih besar pasak dari pada tiang, maka akan timbul banyak kesulitan yang merepotkan diri sendiri. Misalnya berhutang atau meminta uang pada orang lain atau bahkan mencuri, korupsi dan perbuatan tercela lainnya untuk memenuhi keperluan hidup.
Jadi, Qanaah tidak berarti tidak perlu bekerja keras mencari uang. Orang boleh saja bekerja keras tetapi berapapun hasilnya diusahakan cukup agar tidak timbul efek samping yang negative. Siakp Qanaah dimaksudkan agar orang tidak mencari uang yang haram karena pekerjaan halalnya tidak menghasilkan uang sebanyak yang diperlukan.
Lalu Faqr, yang berarti kemiskinan. Maksudnya manusia pada dasarnay miskin, tidak mempunyai apa-apa. Kalau orang itu kaya, pada dasarnya harta yang dimilikinya adalah milik Tuhanyang dititipkan kepadanya. Sebaliknya, kalau orang itu hidup miskin tidak boleh berkeluh kesah sambil menyalahkan orang lain atau Tuhan.
Kalau mau menyalahkan lebih baik menyalahkan kepada diri sendiri. Sebab hidup miskin mungkin disebabkan oleh kelemahan dan kesalahan diri sendiri. Mungkin diri kita bekerjanya belum sungguh-sungguh, tidak disiplin, atau pekerjaannya memerlukan keterampilan khusus yang belum kita kuasai.
Artinya Faqr tidak berarti bahwa setiap orang sebaiknya hidup miskin, sehingga seolah- olah tidak harus bekerja keras dalam mencari uang. Padahal setiap orang haruslah bekerja keras, tetapi kalau hasilnya sedikit, tidak memenuhi keperluan hidup, sehingga terpaksa hidup miskin, maka kenyatan itu harus diterima secara ikhlas sebagai takdir Tuhan yang tidak bisa ditolak. Karena mungkin Tuhan memang sudah mentakdirkan sebagai seorang yang hidup miskin dan mungkin Tuhan menyimpan satu keistimewaan kepadanya.
Dan takdir seperti ini harus diterima dengan ikhlas, karena tentu dibalik semua itu pasti ada hikmahnya. Misalnya kalau orang miskin ini menjadi kaya mungkin saja dia akan lupa kepada Tuhannya. Padahal kalau dia miskin mungkin sekali selalu beribadah dan berusah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, seperti cerita Tsalabah.
Tsalabah adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang miskin. Dia rajin beribadah bersama Nabi. Suatu ketika dia meminta nabi untuk mendoakannya kepada Allah agar dia menjadi orang yang kaya. Lalu Nabi bertanya: apakah kamu siap menjadi orang kaya. Karena nabi khawatir nanti setelah kaya Tsalabah akan lupa beribadah. Tsalabah pun menyatakan siap. Kemudian Nabi berdoa, sehingga usaha Tsalabah berkembang pesat dan menjadi orang kaya. Setelah kaya kekhawatiran Nabi menjadi kenyataan. Tsalabah sering meninggalkan ibadah. Tuhanpun kemudian murka dan usaha Tsalabah merosot dan pada akhirnya kembali menjadi orang miskin.
Dan kemudian tentang kebiasaan membaca Wirid, Zikir, dan Doa yang menghabiskan waktu berjam-jam itu kita dapat menerapkan sistem pembacaan Wirid, Zikir, dan Doa secara berkala seperti Thorikat Naqsabandiyah yang melakuka Wirid di seperempat malam pada tanggal enam belas bulan komariyyah setiap bulannya.
Jadi, untuk masalah ini kita dapat mengaturnya supaya tidak berbenturan dengan jadwal kerja, kita bisa melakukannya setiap libur kerja atau dikala waktu leggang dan waktu-waktu yang sekiranya tidak berbarengan dengan waktu keraja kita.
Jadi jelaslah bahwa tasawuf tidak melemahkan etos kerja. Bahkan kalau diingat bahwa tasawuf itu mendekati orang yang membersihkan dirinya dari perbuatan tercela atau sebagai pagar pembatas diri terhadap perbuatan jahat (mazmumah). Lalu mengisinya dengan perbuatan terpuji (mahmudah), maka dapat dikatakan bahwa tasawuf menimbulkan etos kerja yang kuat. Karena di antara perbuatan terpuji itu adalah mencari nafkah untuk memenuhi keperluan diri sendiri dan keluarga.
Itu berarti bahwa orang yang bertasawuf harus bekerja keras mencari nafkah. Jadi, kalau ada orang mengaku bertasawuf, tetapi malas bekerja, maka tasawufnya keliru.
Dengan demikian, bila masih ada sikap malas, tidak disiplin, tidak mau kerja keras dalam masyarakat Indonesia selayaknya tidak menyalahkan tasawuf, seperti kesan yang berkembang selama ini. Faktor penyebab sikap negatif itu bukan tasawuf, tetapi harus dicari faktor lain diluar tasawuf.
Pada dasarnya tasawuf itu baik dan benar, tetapi persepsi orang terhadapnya sering keliru. Ini disebabkan oleh mentalitas masyarakat Indonesia yang sudah akibat sejarah yang menyakitkan selama ini. Mentalitas masyarakat yang rusak menyebabkan persepsi terhadap ajaran agama kadang-kadang keliru, seperti persepsi terhadap tasawuf.
Karenanya, persepsi yang keliru itu harus dilacak pada kerusakan sikap mental masyarakat mentalitas masyarakat Indonesia mulai rusak ketika mengalami penjajahan selama ratusan tahun. Penjajahan ini menyebabkan masyarakat menderita lahir batin, seperti hidup miskin, kecewa, frustrasi, setres, pesimistis, merasa masa depan suram, dan sebagainya. Hal ini kemudian menghancurkan nilai-nilai yang dihayati dalam masyarakat. Misalnya hal yang benar dianggap salah, orang baik dianggap pencuri, koruptor dianggap selebritis, hamil diluar nikah dianggap keren, perselingkuhan dianggap pekerjaan dan banyak lainnya.
Setelah dijajah sekian lama, bangsa Indonesia bangkit melawan penjajah. Perjuangan bangsa Indonesia membuahkan hasil dengan tercapainya kemerdekaan, tetapi perjuangan itu memerlukan pengorbanan besar yang juga membawa penderitaan lahir batin. Dimuali dari penjajahan bangsa lain hingga sistem pemerintahan yang dimulai dari masa orde baru hingga masa reformasi yang memiliki problem masing-masing yang berimbas kepada penderitaan lahir batin.
Penderitaa lahir batin yang dialami masyarakat Indonesia yang sangat lama akibat penjajahan, revolusi keerdekaan, pergolakan, represi dan krisis yang berkepanjangan tidak hanya merusak dan menghancurkan tatanan masyarakat, tetapi juga merusak mentalitas dan cara berfikir. Akibatnya nilai-nilai positif dari budaya dan agama sering diresepsikan secara keliru.
Seperti tasawuf ini yang kebanyakan masyarakat Indonesia salah meresepsikannya. Tasawuf yang sebenarnya mengandung etos kerja yang kuat dipersepsikan sebagai faktor yang melemahkan etos kerja. Dan untuk memperbaiki persepsi yang keliru ini selain mentalitas masyarakat yang perlu dibangun kembali kita juga perlu melakukan reinterpretasi terhadap sikap-sikap dan ajaran tasawuf, seperti wara, zuhud, qanaah, faqr, dan lainnya.
Memang ada diantara Sufi atau pengikut tarekat yang bersikap eskapis, menjauhi kehidupan dunia. Tetapi hal ini bukan ajaran tasawuf. Sufi atau pengikut tarekat bersikap seperti ini karena terlalu berhati-hati agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa. Sebab dalam mencari kehidupan dunia, orang sering bergelimang dosa. Misalnya memperoleh rizki dengan cara yang haram atau syubhat. Sedangkan kehidupan para Sufi itu kaki kanan berjalan di atas wajib kaki kiri berjalan di atas sunah.
Lagi pula menganggap tasawuf itu melemahkan etos kerja itu bertentangan dengan ajaran dasar Islam yang mewajibkan manusia bekerja seperti yang telah disebutkan diawal Tugas Mandiri ini. Padahal tasawuf sebagai bagian dari ajaran dasar agama Islam. Kalau bertentangan dengan ajaran dasar Islam, maka berarti tasawuf itu keliru atau persepsi terhadap tasawuf itu salah.
Dan menurut ajaran dasar Islam, bekerja itu wajib, setidaknya untuk memenuhi keperluan diri sendiri, keluarga dn umat. Tasawuf pun sejalan dengan ajaran dasar Islam, sehingga tasawuf tidak melemahkan etos kerja, tetapi malah sebaliknya yakni memperkuat etos kerja itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus

Departemen Agama R.I., 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. PT. Syaamil.

Drs. Barmawie Umarie, 1961, Sistimatik Tasawuf, Solo,Ramadhani

Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001

H. Husnan Malik SH. Esensi Tauhid Dan Syirik Dalam Islam. Dosen Metafisika UNPAB

Imam Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti

Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan

Nur Hidayat, akhlak tasawuf. Tugas Mandiri di Sajikan Untuk Mempelajari Lebih Dalam Tasawwuf. Jawa Timur

Prof. Dr. Harun Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang

Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, 2006. Akhlak Tasawwuf . Jakarta. PT Raja Grafindo Persada

Sri Mulyati, 2006, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta,  Kencana

Utama alfaruqi, Belajar Tasawuf. www.utamaalfaruqi.blogspot.com.



[1] Nur Hidayat, akhlak tasawuf. Tugas Mandiri di sajikan untuk mempelajari lebih dalam tasawwuf. Jawa timur
[2] Utama alfaruqi,Belajar Tasawuf. www.utamaalfaruqi.blogspot.com.
[3] H. Husnan Malik SH. Esensi Tauhid Dan Syirik Dalam Islam. Dosen Metafisika UNPAB
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, 2006. Akhlak Tasawwuf . Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
[7] Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, Ibid
[8] Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Imam Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, hlm. 392
[12] Ibid
[13] Prof. Dr. Harun Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 57-58
[14] Sri Mulyati, 2006, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta,  Kencana, hal. 8
[15] Prof. Dr. Harun Nasution, Op. Cit.
[16] Prof. Dr. Harun Nasution, Ibid
[17] Departemen Agama R.I., 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. PT. Syaamil.
[18] Drs. Barmawie Umarie, 1961, Sistimatik Tasawuf, Solo,Ramadhani, hal. 13
[19] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, hlm. 360
[20] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan, hlm. 156 – 157
[21] Imam Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, hlm. 392
[22] Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 5
[23] Ibid, hlm. 3
[24] Prof. Dr. Harun Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 60-62